Sebuah Pesan untuk Komunitas Black Lives Matter, Teman-Teman Papua, dan Semua yang Sedang Berjuang

0

Ilustrasi perjuangan melawan rasisme. Foto: pixabay.com.

Dua minggu ke belakang, linimasa media sosial kita mengalami perubahan jika dibandingkan dengan dua bulan sebelumnya. Linimasa yang tadinya dipenuhi dengan perdebatan dan informasi mengenai Covid-19, kini bergeser ke perdebatan soal perjuangan antirasisme kelompok kulit hitam di Amerika Serikat, Black Lives Matter. Tentunya kita semua tahu, bahwa perjuangan ini kembali menggelora setelah seorang polisi berkulit putih menganiaya seorang warga kulit hitam Amerika Serikat bernama George Floyd hingga meninggal dunia.

Perjuangan antirasisme di Amerika Serikat ini ternyata berhasil membakar semangat antirasisme di berbagai belahan dunia, tak terkecuali di Indonesia. Sebagian kelompok pun menghubungkan perjuangan ini dengan perjuangan masyarakat Papua dalam menentukan nasibnya sendiri.

Jika kalian sadar, semenjak tragedi George Floyd terjadi, saya memang belum mengambil posisi, dan Kontekstual juga belum membahas soal isu ini. Saya bertindak hati-hati dengan alasan kapasitas saya, dan juga Kontekstual, yang belum memiliki representasi cukup untuk berbicara, sekaligus berusaha untuk tidak mencederai semangat dari kelompok mana pun. Baru kemarin Sabtu (6/6), bersama Podcast Bacod (Barisan Cerita Orang Dalam), Kontekstual mengadakan diskusi publik live yang dirasa sudah cukup representatif untuk berbicara soal situasi di Amerika Serikat dan Indonesia. Kontekstual mengundang Billy Nerotumelina, putra Papua yang berkuliah di Pennsylvania State University, dan Meiske Dimitria, penggerak komunitas SabangMerauke yang sedang menempuh kuliah di Columbia University. Diskusi live tersebut dapat kembali dinikmati di laman YouTube Kontekstual dan Podcast Bacod per hari ini, Minggu (7/6).

Hidup Memang Harus Usaha, Namun Buta Soal Ketimpangan adalah Hal yang Problematik

Tanpa bermaksud menggurui, izinkan saya berbicara soal perjuangan atas ketimpangan dan hak-hak dasar manusia.

Kita paham bahwa hidup merupakan sebuah perjalanan yang penuh perjuangan dan usaha. Hanya dengan perjuangan dan usaha, nasib seseorang atau bahkan sekelompok manusia dapat menjadi lebih baik. Namun, saya juga menyadari bahwa perjuangan dan usaha memiliki makna yang berbeda-beda, karena saya mengerti bahwa semua orang tidak berawal dari titik yang sama.

Pedihnya, sebagian dari kita, masih harus memulai dari titik yang begitu jauh. Sebagian dari kita memulai dari ketiadaan akses untuk sekadar mendapatkan hak-hak dasar manusia. Hal ini lah yang dialami oleh sebagian teman-teman kelompok kulit hitam dan minoritas lainnya di Amerika Serikat (bahkan di berbagai penjuru dunia), atau teman-teman Papua di tanah kelahirannya sendiri. Mungkin kita melihat banyak contoh sukses dari teman-teman kelompok kulit hitam dan Papua, yang seringkali menjadi argumentasi bahwa rasisme sudah tiada. Namun percayalah, hanya karena sebagian memiliki bukti kesuksesan, bukan berarti sebagian lainnya sudah hidup bebas tanpa represi dan ancaman.

Meskipun saya dan teman-teman di Kontekstual memiliki perbedaan pandangan ideologis yang signifikan, kami di Kontekstual percaya dan setuju bahwa tidak ada kelompok manusia mana pun yang harus merasakan pedihnya terinjak. Apalagi, jika yang menginjak adalah saudara sendiri yang mengaku satu kewarganegaraan. Tidak ada lagi kiri, kanan, atau tengah jika berbicara soal hak-hak dasar seorang manusia untuk merdeka dan berpendapat.

Kami semua juga setuju bahwa kebebasan berpendapat adalah anugerah yang perlu dijaga dan dilanggengkan, demi menciptakan diskursus yang sehat di masyarakat. Kebisingan media sosial adalah anugerah, bukan sebuah hal yang perlu kita pusingkan terlalu parah. Yang terpenting adalah bagaimana kita memperjuangkan hal yang berbeda, namun tidak mencederai satu sama lain. Jangan karena kita merasa benar, semua orang menjadi salah. Patut kita ingat, setiap dari manusia memiliki perjuangan dan konteks hidupnya masing-masing. Setiap orang memiliki kebenarannya sendiri-sendiri, sebagai hasil dari proses kehidupannya.

Rasisme sistemik tentu harus dihapuskan segera, meski beberapa insiden penjarahan, mungkin, bukan cara yang tepat untuk meningkatkan empati dan pehamanan banyak orang seputar perjuangan yang diperjuangkan. Yang lebih penting saat ini adalah bagaimana kita dapat memantik empati sekaligus pemahaman masyarakat lebih luas, terkait apa pun yang sedang kita perjuangkan. Untuk itu, Kontekstual, dengan senang hati menjadi ruang diskusi tambahan untuk melawan ketidakadilan dan diskriminasi.

Saya paham bahwa Kontekstual belum menjadi media alternatif besar yang memiliki pengaruh signifikan dalam diskursus mayarakat. Namun, hal tersebut tak akan menyurutkan semangat kami untuk ikut serta sebagai platform yang turut menciptakan diskusi-diskusi bergizi, terutama jika berkaitan dengan perjuangan melawan ketidakadilan dan diskriminasi.

Sebagai sebuah platform, hal yang dapat kami lakukan saat ini untuk teman-teman komunitas Black Lives Matter, masyarakat Papua, dan siapa pun yang merasa suaranya belum didengar, adalah kami siap menjadi wadah yang komplementer dengan perjuangan kita semua. Kami di Kontekstual akan dengan senang hati jika platform kami, baik dalam bentuk Podcast, video YouTube, atau tulisan di website, dapat menjadi wadah perjuangan yang harapannya dapat menciptakan perbaikan, meski barang secuil.

Sebagai media yang selalu ingin memberikan ruang bagi beragam pikiran – terutama yang tidak banyak didengar dan bahkan terpinggirkan dalam diskusi arus utama – kami menyadari bahwa dalam berbagai diskusi kami belum sepenuhnya menghadirkan representasi yang benar-benar utuh. Namun, inklusivitas serta prinsip representasi akan terus menerus kami upayakan dan akan selalu kami pegang dalam kerja-kerja kami ke depannya.

Semoga damai segera menyertai kita semua.

Hafizh Mulia adalah Pemimpin Redaksi Kontekstual. Bisa ditemui di Twitter dan Instagram dengan username @moelija.

Tentang Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *