POTUS Tertua: Penyakit Mental dan Penuaan di Gedung Putih

0

Ilustrasi presiden terpilih AS Joe Biden. Foto: Pixabay

Pada 7 November 2020, setelah penantian kurang lebih 4 hari sejak 3 November, seluruh dunia akhirnya mengetahui siapa yang akan menjabat sebagai Presiden ke-46 Amerika Serikat (AS). Joseph Robinette Biden, Jr. atau lebih kita kenal sebagai Joe Biden dinyatakan menang setelah memenuhi jumlah suara elektoral yang diperlukan untuk memenangkan Pilpres AS 2020. Seperti yang dilansir oleh The Guardian, Joe Biden mengantongi total 284 suara elektoral, dari 270 suara elektoral yang dibutuhkan untuk menang, per 7 November 2020. Kemenangan ini tidak saja menjadi sangat spesial bagi para pendukung Biden dan Harris, namun secara pribadi juga sangat spesial bagi Joe Biden. Bagi Biden, kemenangan ini akan menjadi hadiah ulang tahun terbaik bagi dirinya yang akan berulang tahun ke–78 pada 20 November mendatang. Selain itu, usia tersebut juga menempatkan Joe Biden sebagai Presiden paling tua dalam sejarah AS.

Banyak peneliti internasional secara mayoritas memprediksi bahwa Biden setidaknya akan lebih damai daripada Trump jika terpilih kembali. Akan tetapi, tidak menutup kemungkinan usia Biden dapat menjadi halangan bagi dirinya dalam menjalankan tugasnya seperti ekspetasi publik. Berdasarkan pemaparan McDermott (2007), gangguan kesehatan baik fisik maupun psikologi, seperti penuaan dan penyakit mental (mental illness), dapat mempengaruhi pengambilan dan pilihan kebijakan serta tindakan pemimpin. Bahkan pemimpin yang memiliki keterbasan itu sangat jarang stabil dan tidak mudah diprediksi. Selain itu, penuaan juga dapat menyebabkan depresi, paranoid, dan anxiety,  bahkan ketika pemimpin sebelumnya tidak memiliki hal-hal tersebut, dikarenakan tekanan jabatannya. Hal-hal ini tentu dapat mempengaruhi pemimpin secara negatif dalam menjalankan tugasnya, tidak terkecuali Joe Biden.

Jika kita lihat dalam realita kehidupan sehari-hari, usia 70 tahun ke atas tidak dapat disangkal sangat rentan terhadap penyakit dan keterbatasan-keterbatasan lainnya. Kalian yang memiliki nenek atau kakek pada usia yang sama dengan Joe Biden pasti mengerti bagaimana sulitnya mereka dalam kehidupan sehari-hari; Alzheimer, cepat bosan, mudah terdistraksi, miskalkulasi, menyebalkan, dan keterbatasan-keterbasan lainnya. Ketika hampir di seluruh dunia orang-orang pada usia ini masuk dalam usia pensiun dan menjadi tidak produktif, Joe Biden justru menjadi pemimpin AS dan memikul tanggungjawab dalam penyelenggaraan pemerintahan salah satu negara paling berpengaruh di dunia. Oleh karena itu, yang menjadi sebuah pertanyaan, bagaimana mungkin seseorang yang berada di usia lanjut menjabat sebagai kepala negara dan dapat menjalankan tugasnya dengan maksimal?

Gangguan kesehatan pada pemimpin di AS sebenarnya bukanlah hal yang baru. Presiden-presiden AS sebelumnya tercatat juga memiliki penyakit ketika menjabat, sebut saja Woodrow Wilson, FDR dan JFK. Belum lama in, juga terjadi gangguan kesehatan terhadap pemimpin dunia, pada Agustus 2020 Shinzo Abe mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Perdana Menteri Jepang karena alasan kesehatan. Abe takut bahwa keterbatasan penyakitnya akan menyebabkan dirinya tidak produktif dalam pengambilan kebijakan menghadapi krisis COVID-19 di Jepang. Hal ini menjadikan isu kesehatan dan kepemimpinan sangat berkaitan satu sama lain, khususnya dalam menjalankan tugasnya dengan maksimal dan efektif.

Jika kita bandingkan dengan para pemimpin lain, memang ada pemimpin negara yang lebih tua dari segi usia daripada Joe Biden seperti Ratu Elizabeth. Namun, Ratu Elizabeth tidak menjadi kepala pemerintahan dan kepala negara sekaligus seperti Biden, dan tanggung jawab internasional AS masih lebih tinggi. Maka, apakah kemudian kemungkinan keterbasan-keterbatasan Biden dikarenakan usianya akan berpengaruh secara negatif terhadap kebijakan luar negeri AS atau pemerintahannya secara keseluruhan? Menurut Ghaemi (2011), keterbatasan-keterbasan yang ada sepertipenyakit mental dan penuaan tidak selamanya menjadi kelemahan dan berpotensi memiliki pengaruh yang negatif. Justru penelitian membuktikan, untuk beberapa pemimpin penyakit mental telah menjadi kekuatan yang membantu mereka menghadapi krisis dalam masa jabatannya. Walaupun demikian, usia lanjut dari Joe Biden masih sangat besar potensinya dalam mempengaruhi kemampuan baik secara fisik dan psikologis ketika menjabat sebagai presiden AS. Miskalkulasi dan kesalahan penilaian tentu saja berpeluang besar untuk terjadi. 

Berdasarkan hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh O’Connor terhadap Joe Biden (2019), Presiden AS terpilih ke-46 itu memiliki riwayat penyakit  seperti Valvular Atrial Fibrilliation, Hyperlipidemia, Gastroesophageal Reflux, dan Seasonal Allergies dari Sinus yang pernah dideritanya, serta pernah melakukan beberapa operasi. Kesimpulan hasil pemeriksaan ini kemudian menyatakan bahwa Joe Biden sangat sehat dan bugar untuk mencalonkan diri sebagai presiden. Terlepas dari itu, kita harus melihat fakta bahwa ketika Joe Biden secara resmi dilantik di Januari 2021, dirinya akan memiliki pekerjaan yang banyak baik domestik maupun luar negeri. Maka, walaupun laporan kesehatannya baik dan mungkin saja Dia mengubah keterbatasan yang muncul bisa menjadi kekuatannya, tekanan-kekanan akibat pekerjaan yang banyak itu dapat menyebabkan Joe Biden berada dibawah tekanan stres. Kemudian, hal tersebut secara negatif berpotensi mempengaruhi pengambilan kebijakannya. 

Tidak ada yang salah dengan pemimpin yang memiliki penyakit maupun riwayat penyakit mematikan. Hal yang salah selama ini adalah stigma yang ada di masyarakat yang selalu beranggapan pemimpin adalah orang yang harus bisa segalanya; harus luar biasa, harus kuat dan tidak memiliki keterbatasan. Padahal sama seperti manusia biasa, seperti kita, pemimpin juga memiliki ketidakmampuan dan batasan-batasan. Stigma ini tidak jarang membuat para pemimpin yang memiliki penyakit atau keterbatasan-keterbatasan lainnya menjadi takut untuk mempublikasikan hal-hal tersebut. Menurut Crispell dan Gomez (1988), sering kali stigma itu menyebabkan pemimpin menyembunyikan penyakit yang dideritanya, tidak hanya kepada publik bahkan juga kepada dokter kepresidenan. Pada akhirnya, hal tersebut membuat kondisi pemimpin semakin buruk karena tidak mendapat penanganan terbaik dan dukungan emosional dari publik. 

Kenyataan ini mendorong munculnya kesadaran di kalangan masyarakat tidak hanya untuk AS, tetapi juga masyarakat diseluruh dunia bahwa pemimpin bukan seorang superhero. Mereka hanyalah manusia biasa yang tidak luput dari penyakit, stres, depresi, serta keterbatasan-keterbatasan lain akibat tanggungjawab. Hal tersebut kemudian juga dapat memengaruhi terciptanya kebijakan yang tidak tepat atau kontraproduktif. Suksesnya penyelenggaraan negara dan arah kebijakan pemerintah bukanlah hanya menjadi tugas pemimpin saja, melainkan seluruh komponen dalam suatu negara. Masalah domestik dan luar negeri yang dihadapi oleh pemimpin juga bukan hal yang mudah, justru lebih kompleks daripada yang diketahui publik. Sekarang, pertanyaannya apakah rakyat AS siap menerima dan menoleransi kekurangan serta keterbatasan dari Joe Biden yang mungkin lebih buruk daripada Donald Trump?

Referensi

Crispell, Kennet R.  & Gomez, Carlos F. (1988).  Hidden Illness in the White House. Duke University Press

Ghaemi, Nassir. (2011). A First-rate Madness: Uncovering the Links between Leadership and Mental Illness. The Penguin Press.

Kevin C. O’Connor, D.o., FAAFP. (2019, 15 Desember). Joe Biden Medical Report. Department of Medicine at The GW Medical Facuty Associates.

McDermott, Rose. (2007). Presidential Leadership, Illness, and Decision Making, Cambridge University Press: New York, 2007.

Cristiyunisca R. Rongkas adalah seorang kontributor Kontekstual

Tentang Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *