Pragmatisme Kebijakan Luar Negeri Partai Politik di Indonesia

0

Ilustrasi dari FPCI UI

Pendahuluan

Dalam debat calon presiden Indonesia 2019 yang keempat pada 2 April 2019, hubungan internasional menjadi salah satu topik yang diangkat, yang mana kedua calon diuji kapabilitas dan gagasannya dalam merumuskan strategi diplomasi, daya tawar Indonesia, serta prioritas isu luar negeri yang akan ditangani. Topik ini juga tidak jarang dibahas dalam proses demokrasi di negara-negara lain dan memantik perdebatan, seperti di Amerika Serikat antara platform politik luar negeri (polugri) yang dibawakan oleh partai Demokrat yang lebih mengutamakan perlindungan HAM dan Republik yang menitikberatkan isu-isu keamanan, dan begitu pula di Britania antara partai Buruh dan Konservatif. Partai politik (Parpol) di negara-negara tersebut membawakan suatu idealisme dalam polugri yang tidak jarang saling bertolak belakang. Idealisme tersebut—yang menggambarkan adanya perbedaan perspektif dan pola pikir di masyarakat—kemudian berusaha disebarluaskan dan diwujudkan melalui proses demokrasi.

Demokratisasi, Partai Politik, dan Koalisi

Namun, hal yang sama tidak bisa kita temukan di Indonesia. Hampir seluruh parpol di negeri kita cenderung berhaluan pragmatis dalam isu polugri, tanpa menawarkan gagasan apapun yang benar-benar membedakan mereka antara satu dengan lainnya; sekadar menjalankan polugri bebas-aktif dengan hanya sedikit perbedaan dalam menginterpretasikannya. Memang, polugri merupakan isu yang wajib mengedepankan kepentingan nasional di atas kepentingan partai atau golongan tertentu. Namun, tidak adanya platform polugri yang jelas dalam parpol di Indonesia tetap merupakan bukti kurang berhasilnya mereka dalam menjalankan fungsinya di dalam framework negara demokrasi. Segala bentuk keinginan dan harapan masyarakat terhadap arah perkembangan polugri Indonesia menjadi kurang terakomodasi dan tersalurkan dengan baik. Apakah masyarakat memang tidak memiliki aspirasi yang beragam mengenai polugri ataukah kekurangan tersebut justru terletak pada parpol yang tidak bisa mencerminkan idealisme tertentu dengan baik?

Republik Indonesia sedang berada di tengah proses demokratisasi pasca-Reformasi yang dimulai sejak tahun 1998. Salah satu wujud nyatanya adalah desentralisasi kekuasaan dan perubahan sistem kepartaian—dari sistem dominant-party yang didominasi oleh Golkar—menjadi multipartai sampai saat ini, yang memungkinkan lahirnya sejumlah parpol baru untuk berkompetisi di panggung politik nasional. Sebagai representasi dari banyaknya ragam kelompok masyarakat yang ada, wajar bila jumlah parpol di Indonesia sekarang juga merefleksikannya. Sayangnya, kuantitas partai yang banyak ini tidak berbanding lurus dengan kualitas mereka, khususnya dalam melaksanakan fungsi dasar dari parpol untuk mengagregasi dan mengartikulasikan kepentingan masyarakat. Hal ini merupakan dampak negatif dari proses demokratisasi.

Pengaruh Partai Politik pada Masa Awal Kemerdekaan

Pengamat politik UGM, Mada Sukmajati mengatakan, “Ideologi koalisi partai saat ini memang enggak kuat karena mereka hanya berorientasi kekuasaan. Koalisi longgar. Koalisi yang tidak ideologis. Koalisi yang diikat kepentingan jangka pendek yang sama.” Memang, dalam sistem demokrasi multipartai, sangat sulit bagi satu partai saja untuk meraih lebih dari 50% suara dalam pemilu yang diperlukan untuk memperoleh sebuah working majority di parlemen. Oleh karena itu, mereka terpaksa membangun koalisi dengan partai-partai lain demi memperoleh mayoritas tersebut, tentunya dengan berkompromi, saling mengurangi tuntutan masing-masing agar dapat diterima oleh partner koalisi mereka. Dampak dari tuntutan coalition-building ini adalah menghilangnya idealisme yang menjadi ciri khas atau “pembeda” dari berbagai parpol yang ada. 

Jika kita berkaca pada sejarah, Indonesia pada masa awal kemerdekaannya memiliki komposisi parpol yang jauh lebih beragam dan dengan pembeda yang jelas antara satu dengan lainnya daripada hari ini, khususnya selama periode 1950-1965. Meskipun negara Indonesia secara resmi berideologi Pancasila, berbagai ideologi tetap dapat direpresentasikan sehingga melahirkan perbedaan prioritas serta cara pandang yang unik dan representatif terhadap politik luar negeri. Bahkan, polugri pada masa ini bisa menjadi penentu bertahan atau tidaknya sebuah kabinet.

Kabinet Sukiman (1951-1952) yang didominasi Masyumi—yang dikenal memiliki sikap anti-komunis dan anti-PKI yang tegas—mengalami kejatuhan pada Februari 1952 setelah dianggap melanggar prinsip bebas-aktif akibat menandatangani Mutual Security Act (MSA), program bantuan militer dan ekonomi dari Amerika Serikat untuk membendung pengaruh komunisme di tengah memanasnya Perang Dingin.

Kabinet Ali I (1953-1955) yang didominasi Partai Nasionalis Indonesia (PNI) menekankan pentingnya menjalin kerja sama antara bangsa di Asia dan Afrika yang baru merdeka demi menjaga perdamaian dunia agar kepentingan nasional masing-masing bangsa dapat diwujudkan. Cita-cita tersebut terlaksana saat Kabinet Ali I memprakarsai Konferensi Asia-Afrika (KAA) pada April 1955. Kesuksesan ini berkontribusi terhadap diangkatnya Ali Sastroamidjojo sebagai Perdana Menteri untuk kedua kalinya pada 1956.

Deideologisasi Orde Baru sampai Saat Ini

Kabinet Soekarno (1959-1965) yang dipengaruhi utamanya oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) mengedepankan perjuangan politik-revolusioner untuk membebaskan bangsa-bangsa yang masih tertindas oleh neo-kolonialisme dan imperialisme Blok Barat (Nekolim). Atas dasar inilah PKI mengutamakan hubungan diplomatik yang produktif dengan negara-negara komunis di Asia Timur, serta mendukung perebutan Irian Barat melalui Trikora dan pembebasan Kalimantan Utara melalui konfrontasi dengan Malaysia yang dianggap sebagai “antek imperialis Inggris”.

Dinamika antar parpol, khususnya dalam isu polugri, tidak begitu kental terasa selama era Orde Baru, khususnya setelah dilaksanakan fusi parpol pada 1973 dan penerapan asas tunggal Pancasila melalui Tap MPR tahun 1978 dalam rangka deideologisasi dan deradikalisasi parpol. Kedua parpol pada masa ini, PDI dan PPP tidak dapat berperan banyak dalam mempengaruhi polugri Indonesia karena rezim Orde Baru mengonsolidasikan kekuasaannya secara sistematis melalui dominasi Golkar di parlemen. Oleh karena itu, polugri Indonesia pada masa ini dibentuk oleh pemerintah melalui Kementerian Luar Negeri (yang diisi oleh kalangan non-partisan) dengan hanya sedikit pengaruh atau masukan dari parpol oposisi.

Meskipun setelah Reformasi pada 1998 sistem kepartaian di Indonesia dilonggarkan, dampak dari penerapan asas tunggal masih dapat terasa sampai sekarang. Hampir semua parpol di Indonesia kini masuk ke dalam kategori big-tent party, yang berupaya untuk mengakomodasi pandangan dari berbagai spektrum politik agar dapat memperoleh sebanyak mungkin suara saat pemilu. Kalaupun ada perbedaan ideologis di antara mereka, dapat dipastikan segala idealisme yang mereka bawa akan “pudar” saat proses coalition-building dengan partai-partai lain. Dapat dilihat bahwa parpol di Indonesia sekarang tidak memiliki platform polugri yang koheren; mereka hanya sekadar menjalankan doktrin bebas-aktif tanpa membawa alternatif atau keunikan dalam menginterpretasikannya. Padahal, kita dihadapkan pada banyak pilihan untuk melalui dinamika geopolitik global saat ini, tetapi tidak bisa dieksplorasi dengan baik oleh parpol di Indonesia.

Kedepannya, jika bangsa kita menginginkan demokrasi substansial terwujud, maka kualitas parpol dalam menjalankan fungsinya perlu ditingkatkan, khususnya dengan mengembangkan platform politik yang koheren, diimplementasikan dengan konsisten, dan sesuai dengan dinamika aspirasi masyarakat, tak terkecuali di bidang politik luar negeri. Setidaknya, mereka harus bisa menawarkan interpretasi terhadap doktrin bebas-aktif yang unik dan sejalan dengan jati diri partai serta segmen masyarakat yang mereka wakili.

Referensi dapat diakses melalui bit.ly/DipLookKLNParpolReferences

Kenzie Sultan Ryvantya is one of the Staff of Research and Analysis FPCI Chapter UI Board of 2021.

Tentang Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *