Proporsional Tertutup, Demokrasi di Tangan Elite Parpol

0

Ilustrasi pemilihan umum oleh masyarakat Indonesia. Foto: Darwin Fatir/Antara

Pada tanggal 1 Juni 2023 lalu, jagat raya Indonesia digegerkan dengan pernyataan seorang Guru Besar Hukum Tata Negara, Denny Indrayana, yang mengungkapkan ‘bocoran’ MK soal kemungkinan beralihnya sistem pemilu proporsional terbuka menjadi proporsional tertutup. Terdapat lima kemungkinan putusan, salah satunya MK akan mengabulkan gugatan uji materi UU MK sehingga sistem proporsional tertutup segera bisa diselenggarakan di tahun 2024 atau 2029. Denny mengaku bahwa informasi tersebut didapatkannya dari “informan A1” yang kredibel.

Fenomena ini menuai banyak komentar pro-kontra dari netizen pun juga dari kalangan tokoh publik. Di satu sisi, terdapat pihak yang merasa hal ini bukanlah perkara besar dan Indonesia akan baik-baik saja karena pernah menggunakan kedua sistem tersebut. Di sisi lain, banyak yang khawatir dengan berubahnya sistem pemilu menjadi proporsional tertutup karena pengalaman pahit Indonesia di Orde Baru. Saya pribadi lebih cenderung kepada pendapat yang kedua dan melihat hal ini sebagai fenomena yang menunjukkan menguatnya kuasa elite parpol atas demokrasi Indonesia yang terrefleksikan pada permohonan untuk pemilu tertutup. Lantas, kok bisa sih elite-elite parpol memegang demokrasi itu sendiri?

Tangan-Tangan Nakal Elite Politik

Mari telisik terlebih dahulu terkait indikasi yang menunjukkan menguatnya kuasa elite parpol dalam berjalannya demokrasi di Indonesia dari lemahnya demokratisasi internal parpol itu sendiri. Demokratisasi internal parpol menjadi parameter yang tepat karena dengannya dapat diketahui apakah kekuasaan yang dimiliki elite parpol cukup besar untuk mengejar kepentingan pribadinya. Hemat saya, lemahnya demokratisasi internal partai mengindikasikan besarnya kuasa para elite parpol dalam mengejar kepentingan pribadinya karena kepentingan-kepentingan publik menjadi tidak diprioritaskan.

Menurut Jamaludin Ghafur, dinilai dari dimensi pemilihan pemimpin partai, peraturan demokratisasi internal partai politik di Indonesia yang telah diatur di Penjelasan Umum UU Nomor 2 Tahun 2008 beserta perbaikannya dalam UU Nomor 2 Tahun 2011 tidaklah bersinergi antara das sollen dan das sein berdasarkan tiga alasan. Pertama, substansi UU yang tidak mengatur detail dan rincian terkait segala urusan teknis. Kedua, pemberian kewenangan oleh pembentuk UU kepada pengurus parpol untuk dapat mengatur mekanisme pemilihan pengurus dan ketua umumnya melalui AD/ART-nya sendiri membuatnya tidak dapat diuji atau digugat di MK ataupun MA. Ketiga, rumusan norma yang terkandung di pasal 22 UU No. 2 Tahun 2011 terbilang masih umum dan abstrak. Dari segi implementasi, demokratisasi internal parpol juga belumlah maksimal jika ditinjau menggunakan lima parameter: inklusifitas pencalonan, partisipasi pemilih, derajat kompetisi, mekanisme pemilihan, dan pembatasan masa jabatan.

Ditinjau dari dimensi pemilihan calon pejabat publik, parpol kerap kali memilih calon pejabat publik yang hanya patuh pada elite parpol itu sendiri. Beberapa waktu yang lalu, dalam salah satu rapat anggota dewan Komisi III DPR dengan Menko Polhukam Mahfud MD, Bambang Pacul menyampaikan bahwa usulan Mahfud MD hanya akan dikabulkan asalkan memperoleh izin dan restu dari ketua umum partai. Hal ini memunculkan pertanyaan, memangnya DPR itu bertanggung jawab pada rakyat atau pada ketua umum partai?

Dalam kasus kemungkinan sistem pemilu proporsional tertutup misalnya, para elite berupaya untuk memilih pejabat publik yang manut dan taat kepada pimpinan parpol supaya (1) konstitusi diupayakan untuk menguntungkan kepentingan elite parpol tertentu dan (2) institusi kenegaraan tetap dikontrol oleh tangan nakal parpol. Jelaslah ini menunjukkan lemahnya demokratisasi internal parpol. Belum lagi jika ditinjau dari dimensi rumusan kebijakan-kebijakan, demokratisasi internal partai serasa hanya mimpi belaka sehingga kepentingan publik lebih berkemungkinan terelakkan. 

Elite-elite parpol masih menggenggam erat proses demokrasi yang berjalan di Indonesia dan hal ini nyata adanya. Politisi pilihan parpol yang cenderung manut pada elite parpol ketimbang rakyat mencederai ide demokrasi itu sendiri. De-personalisasi demokrasi dari rakyat oleh elite parpol menjadi isu penting yang direfleksikan melalui kemungkinan adanya sistem pemilu proporsional tertutup.

Elite parpol ini memang nakal ya, dipilih rakyat kok malah tidak memperdulikan rakyatnya. Dipilih rakyat kok malah membajak demokrasi yang sedang berlangsung. Mayoritas rakyat pengen sistem terbuka, masih ada aja yang mengagendakan untuk sistemnya tertutup. Aneh gak sih?

Parpol Menggenggam Demokrasi Indonesia

Genggaman demokrasi di tangan para elite parpol menjadi persoalan besar karena peran sentral dari parpol itu sendiri pada demokrasi suatu negara. Richard S. Katz menyampaikan bahwa “modern democracy is party democracy” yang menunjukan besarnya peran parpol dalam demokrasi modern. Gabriel A. Almond menerangkan terdapat tujuh fungsi parpol: 1) sosialisasi politik, 2) partisipasi politik, 3) rekrutmen politik, 4) komunikasi politik, 5) artikulasi kepentingan, 6) agregasi kepentingan, dan 7) pembuat kebijaksanaan. Sementara itu, empat pilar demokrasi: eksekutif, legislatif, yudikatif, dan media, tiga di antaranya diisi oleh mayoritas hasil didikan parpol. Bahkan, mayoritas media di Indonesia juga dimiliki oleh tokoh-tokoh parpol. Dengan demikian, jelaslah bahwa parpol memegang peranan yang sangat krusial dalam berlangsungnya demokrasi.

Kuasa yang besar dan peranan yang penting tanpa diiringi dengan kebijaksanaan hanya akan berujung pada kecelakaan. “With a great power, comes a great responsibility” kalau kata almarhum Ben Parker. Namun, realita tidak menunjukkan adanya kebijaksanaan yang besar lahir dari kepemimpinan elite-elite tersebut. Hal ini tidak dapat terlepas dari budaya-budaya perpolitikan di Indonesia, seperti politik uang, oligarki, dan politik patuh ketum partai sebagai budaya kekuasaan yang mendominasi. Parpol di Indonesia jauh dari kata “modern dan terinstusionalisasi” sehingga banyak dari parpol tersebut yang justru menjadi benalu dalam demokrasi Indonesia.

Tidaklah mungkin terwujud suatu pemerintahan yang demokratis, jikalau demokrasi internal parpolnya sendiri masih belum berjalan. Lantaran, kebijakan publik dihasilkan oleh politisi-politisi didikan parpol yang masih belum demokratis itu. Wacana sistem proporsional tertutup menjadi cerminan yang memantulkan cahaya-cahaya ketidakdemokratisan. Ketimbang merenggut hak rakyat untuk memilih perwakilannya secara langsung, lebih baik lakukan perbaikan untuk membuat parpol sebagai penggerak utama demokrasi, agar lebih demokratis.

Falah Mar’ie Amanullah merupakan Mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional di Universitas Gadjah Mada. Dapat ditemukan di Instagram dengan nama pengguna @flh.ma

Tentang Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *