Resistensi Rakyat Kenya terhadap IMF: Menolak Kembalinya The Lost Decade

0

Ilustrasi perlawanan rakyat Kenya terhadap IMF. Foto: Getty Images

Pandemi COVID-19 telah berlangsung hampir dua tahun lamanya dan selama itu pula kita menyaksikan bagaimana wabah ini telah mendisrupsi perekonomian global. Dalam upayanya untuk memitigasi kemerosotan ekonomi ini, pemerintah di berbagai penjuru dunia sudah mencoba untuk melakukan berbagai tindakan yang mereka nilai dapat memulihkan ekonomi negara. Namun, tak jarang usaha-usaha ini justru makin merugikan rakyat, bahkan memperparah ketimpangan serta ketidakadilan yang sebelumnya ada. Keadaan ini kemudian membarakan semangat rakyat di berbagai belahan dunia untuk bergerak dan membangun inisiasi dan resistensi dalam rangka menggugat negaranya. Salah satu massa yang kini sedang bergolak itu adalah rakyat Kenya—dan mereka sedang marah besar. 

Kemarahan rakyat Kenya berangkat dari diterimanya paket pinjaman tiga tahun sejumlah US$ 2,34 miliar oleh International Monetary Fund (IMF) pada awal bulan April lalu (Wasike, 2021). Nairobi menjustifikasi tindakan ini dengan menekankan pentingnya pinjaman ini dalam upaya mendukung penanganan wabah COVID-19 dan reformasi ekonomi kedepannya (Mwaura, 2021). Di sisi lain, IMF pun berdalih bahwa pemberian utang ini dimaksudkan untuk membantu Kenya dalam rangka mengurangi kerentanan utang-utangnya, membangun fondasi pertumbuhan ekonomi yang lebih tahan lama dan inklusif di masa depan, serta membentuk sistem ekonomi yang lebih transparan (Mureithi, 2021). Namun setelah hidup lebih dari empat puluh tahun di bawah jeratan utang IMF yang makin membengkak empat kalinya setelah Uhuru Kenyatta menempati kursi presiden, warga Kenya telah muak akan utang-utang itu dan dampak negatif yang menyertainya (Mwaura, 2021). 

Bersenjatakan tagar #StopLoaningKenya dan #StopGivingKenyaLoans, lebih dari 200.000 rakyat yang tergabung dalam Kenyans on Twitter (KOT) menyuarakan frustrasinya akan keputusan pemerintah dan IMF ini (Wangari, 2021). Menurut mereka, utang ini tidak akan membawa satu perbaikan pun ke Kenya karena ia justru akan menaikkan rasio utang publik—yang kini telah mencapai 65% dari total PDB negara, pajak, dan harga barang kebutuhan sehari-hari di masa-masa kesulitan ekonomi ini (Mwaura, 2021). Selain itu, masyarakat Kenya juga menilai bahwa pinjaman-pinjaman ini memperburuk korupsi yang ada sebab sebagian besar yang akan lari ke kantong para elite (Changole, 2021). Tak hanya memanfaatkan Twitter, rakyat Kenya juga menyerukan perlawanannya melalui Facebook—di antaranya dengan membajak kolom komentar sebuah siaran langsung yang dilakukan oleh IMF, dan membuat petisi penolakan lewat change.org yang telah ditandatangani lebih dari 230.000 orang (Wangari, 2021). 

Upaya ini tentu mendapatkan kecaman dari pemerintah Kenya yang makin anti-kritik dan otokratis. Salah seorang aktivis Kenya yang paling vokal di Twitter, Mutemi Kiama, ditangkap pada tanggal 7 April 2021 oleh aparat kepolisian setempat (Wangari, 2021). Menurut laporan Wangari (2021) dalam pemberitaannya, Kiama kemudian dijatuhi hukuman penjara selama 14 hari dan denda sebesar US$ 5.000 karena membuat dan menyebarkan secara daring sebuah poster perlawanan yang memuat foto Kenyatta.

Bagi penulis, lebih dalam dari masalah peningkatan pajak, harga-harga barang keseharian, dan rasio utang terhadap PDB, serta tindak korupsi para pejabat yang terlihat jelas di permukaan, penggugatan rakyat Kenya ini sejatinya lebih fundamental. Hal ini disebabkan oleh adanya kesadaran bersama rakyat akan kenyataan bahwa perlawanan ini adalah untuk mencegah penderitaan lebih jauh akibat dari kecenderungan hegemonik IMF yang mereka yakini telah membuat Kenya menjadi seperti sekarang ini melalui program penyesuaian strukturnya. Argumen penulis ini sejalan dengan pendapat Rasna Warah—seorang jurnalis senior berkebangsaan Kenya—dan David Ndii, seorang ahli ekonomi Kenya yang diwawancarai oleh Changole dan Warah untuk artikelnya, yang menyatakan bahwa perlawanan keras rakyat Kenya kali ini didorong oleh tekad tidak ingin terjerat lebih dalam lagi dalam utang IMF dan segala dampak yang menyertainya (Warah, 2021). Tekad ini muncul karena Structural Adjustment Program (SAP) yang pada tahun 1980-1990-an diberlakukan sangat merugikan masyarakat Kenya. Kebijakan-kebijakan SAP tersebut umumnya mendorong masifnya PHK dan pemberhentian subsidi bagi pelayanan esensial seperti kesehatan dan pendidikan karena adanya kewajiban perampingan anggaran pengeluaran (Warah, 2021). Hal ini kemudian berujung pada peningkatan kesulitan dan kerawanan ekonomi bagi pekerja kelas menengah ke bawah (Warah, 2021).

Tak hanya itu, di bawah kuasa IMF, Kenya sempat kehilangan kemerdekaannya untuk mengeluarkan kebijakan ekonominya sendiri karena para peminjam biasanya mengintervensi bahkan menentukan kebijakan ekonomi—termasuk APBN, nilai tukar mata uang, dan keterlibatan publik dalam ekonomi—negara yang dipinjami tersebut (Warah, 2021). Pada tahun-tahun tersebut, dengan satu tanda tangan saja, perwakilan IMF dapat mendevaluasi mata uang Kenya dan memecat ratusan pekerja sipil (Warah, 2021). Lebih jauh lagi, kebijakan SAP di Kenya juga menginisiasi beberapa agenda seperti liberalisasi dan deregulasi perdagangan, serta privatisasi perusahaan-perusahaan negara yang mengubah struktur ekonomi Kenya secara fundamental dan besar-besaran (Warah, 2021). Dampak dari agenda-agenda yang menunjang neoliberalisme tersebut secara langsung mempengaruhi sektor perdagangan Kenya, yang mana hingga tahun 1992 ekspor komoditas andalan mereka seperti tekstil dan pakaian terus lesu sementara impor dari negara-negara maju seperti Amerika Serikat dan Uni Eropa terus melonjak (Gertz, 2008). Selain itu, pertumbuhan ekonomi Kenya yang setelah kemerdekaan telah mencapai 7% pun jatuh ke angka 2.2% setelah kebijakan liberalisasi pasar diberlakukan (Gertz 2008).

Naomi Klein (2007) dalam bukunya The Shock Doctrine menyebutkan bahwa hal-hal inilah yang kemudian meningkatkan kemiskinan dan kesenjangan sosial di banyak negara peminjam IMF, tidak terkecuali di Kenya, yang masih berlangsung hingga saat ini. Keadaan ini, menurut Klein, turut dilanggengkan oleh struktur dunia dan badan-badan penunjangnya yang mengabsahkan kerakusan, korupsi, dan perampokan sumber daya yang dilakukan oleh pemangku kekuasaan negara selama mereka dapat melanggengkan pasar bebas dan neoliberalisme (Klein, 2007). Horornya situasi di bawah IMF empat dekade lalu kini kembali menghantui rakyat Kenya. Apalagi di masa pandemi ini, sekitar dua juta orang telah kehilangan pekerjaannya sehingga banyak yang mengalami kesulitan finansial (Warah, 2021). Melihat situasi tersebut, tidak heran jika perlawanan rakyat Kenya sangat bergelora. 

Berdasarkan penjabaran di atas dapat disimpulkan bahwa tidak hanya didasari oleh kekhawatiran akan kenaikan tingkat utang negara, pajak, dan harga kebutuhan sehari-hari, gelombang protes yang terjadi secara online di Kenya juga disebabkan oleh adanya ketidakinginan rakyat Kenya untuk terjebak lebih jauh dalam perangkap IMF dengan berbagai kebijakan SAP yang menyertainya. Karenanya, perlawanan ini dapat kita anggap sebagai upaya emansipasi rakyat Kenya atas struktur dunia yang telah merugikannya. Hingga saat ini, resistensi daring rakyat masih berlangsung karena pemerintah masih juga mengajukan beberapa pinjaman lain baik ke IMF maupun World Bank. Harapan akan pemberhentian peningkatan utang kini tampaknya telah pupus, namun tak menutup kemungkinan bahwa Pemilu 2022 esok akan membawa harapan baru bagi rakyat Kenya—meski siapapun penerus Kenyatta harus memikul beban berat warisan utang di periode sebelumnya. 

Referensi:

Changole, A. (2021). Don’t Lend Our Government, Debt Weary Kenyans Demand of IMF. Bloomberg.com. https://www.bloomberg.com/news/articles/2021-04-09/don-t-lend-to-our-government-debt-weary-kenyans-demand-of-imf.   

Gertz, G. (2008). (rep.). Kenya’s Trade Liberalization of the 1980s and 1990s: Policies, Impacts, and Implications. Carnegie Endowment for International Peace. Retrieved from https://carnegieendowment.org/files/kenya_background.pdf.  

Klein, N. (2007). The Shock Doctrine: the Rise of Disaster Capitalism. Penguin. 

Mureithi, C. (2021). Why Kenyans are refusing the IMF’s billions. Quartz. https://qz.com/africa/2001988/why-kenyans-are-refusing-the-imfs-billions/.  

Mwaura, W. (2021, April 7). Letter from Africa: Kenyans protest over growing debt. BBC News. https://www.bbc.com/news/world-africa-56651735.  

Wangari, N. (2021, April 12). Kenyan activists intimidated as irked citizens stage online protest Against IMF loans. Global Voices. https://globalvoices.org/2021/04/09/kenyan-activists-intimidated-as-irked-citizens-stage-online-protest-against-imf-loans/. 

Warah, R. (n.d.). Why Kenyans fear a New IMF loan. The Wire. https://thewire.in/world/why-kenyans-fear-a-new-imf-loan. 

Wasike, A. (2021). Kenyans urge IMF to cancel over $2B loans. Anadolu Ajansı. https://www.aa.com.tr/en/africa/kenyans-urge-imf-to-cancel-over-2b-loan/2200075. 

Sekarini Wukirasih adalah mahasiswa Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada. Dapat ditemukan di Instagram dengan nama pengguna @skrsekar

Tentang Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *