Rusia dalam Tekanan

Aksi protes timbul di seluruh Rusia pada 2 Februari atas hukuman penjara Alexei Navalny. Kejaksaan Rusia mengklaim bahwa kritikus Kremlin yang ganas itu dijatuhi hukuman 3 ½ tahun penjara atas pelanggaran masa percobaan dari kasus pencucian uang tahun 2014 yang melibatkannya. Tuduhan tersebut telah dibantah dengan tegas oleh tim hukum Navalny. Tidak hanya itu, bahkan Navalny sendiri menyatakan bahwa persidangan tersebut adalah upaya untuk membungkamnya yang berakar dari kebencian pribadi dan mendalam dari Presiden Vladimir Putin terhadapnya.

Pendukung Navalny telah melakukan protes selama dua akhir pekan berturut-turut sejak penangkapan pertamanya pada 17 Januari — bahkan kini dalam jumlah yang semakin besar setelah hukumannya diumumkan empat hari lalu. Beberapa dari mereka meneriakkan kalimat-kalimat seperti “Putin adalah pencuri” dan “Putin adalah peracun”. Tahun lalu, Navalny menjadi sasaran dari upaya peracunan saraf yang hampir membunuhnya. Ia mengatakan serangan itu dilakukan oleh agen keamanan negara Rusia yang memasukkan racun ke dalam celana dalamnya. Hal ini tentu dibantah oleh Kremlin dan Putin juga menambahkan bahwa mereka akan memastikan upaya peracunan tersebut berhasil jika mereka menginginkan Navalny mati. Akibat protes tersebut, 1.000 orang telah ditahan dengan kejam oleh polisi.

Tim pengacara Navalny telah berjanji untuk mengajukan banding atas vonis yang telah dijatuhkan. Mereka juga berencana untuk beralih ke Pengadilan Hak Asasi Manusia Eropa atas keputusan tersebut. Negara-negara lain seperti Amerika Serikat, Inggris, dan Jerman telah mendesak Rusia agar segera membebaskan Navalny. Lebih lagi, AS kini turut mempertimbangkan untuk menjatuhkan lebih banyak sanksi kepada Rusia atas kesalahan penanganan kasus tersebut. Dengan demikian, tekanan yang diberikan kepada Putin dan pemerintahannya tampak datang dari semua arah—adapun hal ini adalah suatu kejadian yang tidak asing bagi Rusia.