Setelah Damai Dengan Iran, Suriah Comeback ke Liga Arab

0

Presiden Suriah Bashar al-Assad (kiri) dan Raja Arab Saudi Abdullah (kanan) di pertemuan 30 Juli 2010. Foto: Getty Images

Belum genap dua bulan semenjak “perdamaian” Saudi-Iran dengan kembalinya hubungan diplomatik antara kedua negara, terdapat perkembangan diplomatik baru di Timur Tengah. Perkembangan tersebut kali ini berkaitan dengan Suriah, yang pada 9 Mei lalu resmi kembali bergabung ke dalam Arab League atau Liga Arab. Kembalinya Suriah dalam Liga Arab itu kemudian juga diikuti oleh kembalinya hubungan diplomatik dari Arab Saudi dan negara-negara teluk lainnya.

Sebelumnya, pada 2011, keanggotaan Suriah di Liga Arab ditangguhkan akibat aksi kekerasan yang dilakukan pemerintahan Bashar Al-Assad yang kemudian beralih menjadi perang saudara. Semenjak konflik tersebut, Suriah belum benar-benar pulih seperti sebelumnya. Meskipun begitu, Pemerintahan Bashar Al-Assad telah merebut kembali kendali sebagian besar wilayah Suriah dan meredakan konflik internal Suriah.

Akan tetapi, apakah hanya perkembangan domestik tersebut menjadi pertimbangan kembalinya Suriah ke Liga Arab? Apakah ini menandakan Timur Tengah yang semakin damai?

Sulitnya Integrasi di Timur Tengah

Sebagaimana Uni Eropa dan ASEAN, Liga Arab adalah suatu organisasi regional. Liga Arab menjadi wadah negara-negara Arab untuk meningkatkan kerjasama dan integrasi kawasan. Akan tetapi, tentu Liga Arab tidak dapat disamakan dengan organisasi regional lainnya, melainkan harus dipahami dalam konteks unik timteng. 

Integrasi regional di timteng selama ini sulit direalisasikan karena banyak faktor. Secara geopolitik, misalnya, Cohen (2015) mengelompokkan Timur Tengah sebagai kawasan yang belum matang (geopolitically immature) dengan perbedaan pandangan politik dan keamanan antar negara dalam kawasan yang ekstrim. Pinfari (2016) bahkan menyebutkan bahwa Timur Tengah adalah “region tanpa regionalisme”. Istilah tersebut lahir akibat Liga Arab yang terbukti tidak dapat memiliki peran penting dalam menangani krisis di Timur Tengah, baik secara politik, militer, maupun ekonomi. 

Satu-satunya langkah signifikan dari Liga Arab adalah saat dunia Arab berkonfrontasi dengan Israel pada dekade 1960-an. Padahal, organisasi regional mestinya paling dapat berkontribusi lebih dari itu, seperti dalam menengahi penyelesaian konflik dan membentuk pasar bersama (common market) di kawasan.

Ketidakefektifan tersebut terbukti dari berbagai krisis yang terjadi di Timur Tengah namun tidak dapat ditangani dengan baik oleh organisasi regional, seperti Krisis Teluk pada 1990-1991, Perang Irak 2003, hingga Konflik Gaza pada 2009. Prinsip unanimity dan non-interference kurang lebih membuat Liga Arab tidak dapat melakukan apa-apa dan hanya menjadi perpanjangan tangan dari kekuasaan negara yang mayoritasnya otoriter hingga monarki absolut. 

Diantara negara otoriter dan monarki tersebut, dinamika yang berkembang justru adalah persaingan antar negara. Bukannya mendorong integrasi kawasan, dinamika di Liga Arab justru mendorong eksklusi beberapa negara tertentu. Tidak heran apabila dinamika ini berujung kepada penangguhan keanggotaan Suriah pada 2011 lalu.

Kerap Memberi, Berharap Kembali

Dalam konteks Perang Sipil Suriah, dukungan–terutama yang bersifat materiil, dari negara-negara Teluk selalu disalurkan kepada pihak yang beroposisi terhadap pemerintah Suriah. Perang antarkelompok kepentingan tersebut justru berakhir remis. Barulah setelah lobi-lobi panjang dan tertutup banyak negara Arab hendak melakukan normalisasi. Blokade yang dilakukan melalui Liga Arab kemungkinan dirasa tidak berdampak signifikan berhubung konflik di Suriah pula tidak kunjung usai, sehingga keharusan menghadapi Suriah secara langsung menjadi satu-satunya opsi. Ihwal ini yang membuka pintu reapproachement.

Hubungan resiprokal yang menguntungkan tentu saja prasyarat tak tertulis dalam penyelenggaraan forum kerja sama, terlebih bila berbicara soal relasi multilateral. Negara Arab jelas membutuhkan keberadaan Suriah untuk menegakkan pelarangan dagang narkoba hingga regulasi soal pengungsi yang kian membludak. Selain itu, Suriah pula membutuhkan bantuan finansial untuk membangun kembali perekonomian negara. Harapan ini sekilas sangat mungkin untuk terlaksana.

Meskipun tidak disetujui oleh semua anggota–termasuk Qatar dan Kuwait yang tetap dalam posisi memboikot rezim Al-Assad, mayoritas anggota Liga Arab menyetujui agar penangguhan keanggotaan Suriah diangkat. Akan tetapi, posisi Bashar al-Assad yang digadang sebagai “diktator” Suriah menjadi sorotan, utamanya soal kasus yang mengaitkannya dengan kejahatan perang. Terlebih lagi, kekhawatiran utama pula tertuju pada sikap Bashar yang seolah tidak memberi jaminan politik apapun. Tanpa janji politik (political will) yang jelas, maka menerima Suriah kembali menjadi cukup riskan. Kesatuan regional Arab tidak dapat semata-mata menjamin kestabilan kawasan mengingat rekam jejak dinasti Al-Assad yang kontroversial.

Musibah gempa beberapa waktu lalu juga turut membuka pintu bantuan kemanusiaan yang mempermudah normalisasi hubungan dengan Suriah. menjadi momentum penting agar akses rekonstruksi negara tersebut dapat berjalan lancar. Meskipun demikian, di sisi lain, bantuan tersebut tidak serta-merta menjamin keberlanjutan proses pembangunan di masa mendatang. Belum lagi, negara-negara Arab–terutama yang terletak di Teluk dan dekat dengan kekuatan asing, mesti mengkalibrasi ulang–atau setidaknya, beradaptasi lebih, orientasi kebijakan luar negerinya. Uniknya kali ini, sebagai salah satu dari “pemain utama”, Amerika Serikat (AS) justru dirasa tidak akan berbuat banyak. Hal ini dapat ditelisik dari kebijakan pemerintahan Joe Biden terhadap penurunan prioritas (de-prioritization) kawasan Timur Tengah.

Angin Perdamaian Berhembus Semakin Kencang

Kembalinya Suriah ke dalam Liga Arab tidak dapat dipahami hanya sebagai imbalan bagi kembalinya suatu derajat stabilitas di domestik Suriah–yang pada awalnya menjadi alasan penangguhan Suriah dari Liga Arab. Sebaliknya, kembalinya Suriah ke Liga Arab ini merupakan bagian dari upaya negara-negara Teluk dalam melakukan reapproachment. Hal ini selaras dengan langkah perdamaian Saudi-Iran yang telah dilakukan awal tahun ini.

Meski begitu, langkah ini dapat dimaknai dalam berbagai cara. Secara domestik, langkah ini bisa diterjemahkan oleh para pendukung Rezim Assad sebagai suatu kemenangan diplomatik. Senada, Rusia dan Iran juga dapat mengklaim kemenangan proksinya. Aksi blokade dan bantuan apapun terhadap kelompok oposisi selama lebih dari satu dekade kebelakang terbukti tidak berhasil menumbangkan Rezim Assad.

Namun, konflik ini juga seyogyanya dipahami dari sisi negara-negara Teluk, yang notabene merupakan pemain utama dalam Liga Arab. Masuknya Suriah setelah perdamaian dengan Iran ini memperkuat impresi bahwa para penguasa timteng sudah lelah dengan konflik regional. Berbagai upaya yang dilakukan untuk saling menumbangkan tidak berhasil. Oleh karena itu, lebih baik mengusahakan perdamaian di timteng, salah satunya melalui Liga Arab, meski hanya sebagai nama dan tanpa kemajuan nyata bagi regionalisasi di Timur Tengah.

Jalaluddin Rizqi Mulia merupakan mahasiswa di Universitas Islam Indonesia. Dapat ditemukan di Instagram dengan nama pengguna @jalaluddinrizqi

Tentang Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *