Pilu di Perang Sipil Libya yang Tak Berkesudahan

0

Ilustrasi perang sipil di Libya. Foto: FPCI UPH.

Perang sipil berkepanjangan di Libya telah menewaskan ribuan orang dan merusak infrastruktur fisik sejak 2014, dengan pembicaraan gencatan senjata pada tahun 2019 gagal tercapai. Pada hari Selasa (26/5), Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Lavrov menyatakan dukungannya untuk gencatan senjata kepada Aguila Saleh Issa, pemimpin dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Libya.

Konflik sipil di Libya terjadi antara Pemerintah yang didukung secara internasional oleh PBB (Government of National Accord) di bawah Perdana Menteri al-Sarraj, dan Dewan Perwakilan Rakyat Libya bersama Tentara Nasional Libya (Libyan National Army) di bawah Panglima Tertinggi Khalifa Haftar. Konflik ini terus-menerus memicu ketegangan geopolitik, baik di dalam negeri maupun di luar perbatasan Libya.

Sesaat sebelum perang sipil terjadi, DPR Libya sudah dipindahkan ke Tobruk, yakni ketika sengketa pemilu pada tahun 2014 mengarah pada pembentukan dua kubu yang merasa berhak atas kekuasaan. Dalam perang ini, baik pemerintah GNA di Tripoli, maupun DPR di Tobruk, mendapatkan bantuan asing. GNA menerima dukungan dari Amerika Serikat, Turki, Qatar, dan Italia. Sedangkan DPR Libya menerima bantuan dari Arab Saudi, UEA, Mesir, Rusia, dan Prancis.

Para pejabat GNA menyatakan bahwa ratusan tentara bayaran Rusia telah ditarik dari Libya sebelah barat. Hal ini dilakukan setelah serangan militer dari kubu Haftar, yang dimulai pada tahun 2019 untuk merebut Tripoli dari GNA, mengalami kemunduran. Selain itu, militer Amerika Serikat menuduh Rusia telah mengirimkan pesawat tempur untuk membantu tentara bayaran Rusia di Libya, dengan menyatakan bahwa pesawat tempur Rusia yang mendarat di Suriah dicat ulang demi menyembunyikan asal mereka yang sebenarnya. Rusia masih menolak berkomentar sejauh ini.

Seperti yang dinyatakan dalam bocoran laporan PBB, para pemantau PBB melaporkan adanya lebih dari dua puluh penerbangan dari Rusia ke Libya, yang disewa oleh kelompok paramiliter Wagner Rusia. Kelompok paramiliter ini sebelumnya juga telah mengerahkan 1.200 tentara bayaran untuk mendukung pasukan Jenderal Haftar.

Dari negara-negara Barat sendiri, kurangnya kebulatan suara terjadi karena negara-negara Barat yang terlibat memiliki kepentingan yang berbeda. Italia berupaya membendung migrasi melalui Libya, dan menuduh Prancis memprioritaskan kepentingan ekonomi, dibanding perdamaian. Prancis dituduh memasok senjata ke LNA (meskipun hal ini ditolak oleh Prancis terus-menerus). Wilayah Libya ini secara bertahap telah berubah menjadi medan pertempuran untuk perang proksi untuk kekuatan besar dan regional.

Tentang Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *