Sofagate: Skandal Seksisme Turki Terhadap Perempuan Terkuat Eropa

0

Presiden Komisi Uni Eropa, Ursula von der Leyen. Foto: Reuters

Turki terjebak di dalam skandal Sofagate dengan Eropa karena tidak memberikan tempat duduk yang layak kepada perempuan terkuat di Benua Biru, sehingga dia akhirnya duduk di sofa.

Dilansir dari NBC News, hal tersebut bermula dari pertemuan antara Presiden Dewan Eropa Charles Michel dan Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen dengan Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan pada 7 April 2021.

Meski terdapat tiga pejabat tinggi yang hadir di pertemuan tersebut, hanya ada dua kursi kehormatan yang disediakan: satu untuk Presiden Turki, satu untuk salah satu pemimpin Eropa.

Pada akhirnya, yang duduk di sebelah Erdogan adalah Michel. Sementara itu, von der Leyen—seorang perempuan—duduk di sofa yang ada di ruangan tersebut, setelah mengucapkan “ahem” kepada dua pria yang duduk di kursi kehormatan tetapi tidak direspon.

Perlakuan tersebut sempat ramai dalam beberapa hari pasca pertemuan tersebut, tetapi semakin ramai setelah perempuan terkuat Eropa itu buka suara dua minggu setelahnya.

“Saya adalah Presiden Komisi Eropa dan itulah harapan saya terhadap bagaimana Turki memperlakukan saya—seperti Presiden Komisi Eropa, tetapi kenyataannya tidak,” ujarnya pada Senin (26/4). “Saya tidak menemukan justifikasi apa pun terhadap perlakuan demikian di dalam perjanjian-perjanjian Eropa,” tambah perempuan berusia 62 tahun tersebut.

“Oleh karena itu, saya menyimpulkan bahwa saya diperlakukan demikian karena saya wanita,” ujarnya.

Charles Michel yang ikut dikritik karena “tidak bertindak apa-apa untuk menghentikan perilaku seksis” memohon maaf pada kesempatan yang sama dan kembali menegaskan dukungannya terhadap kesetaraan gender.

Tuduhan seksis dalam Sofagate tersebut dibantah oleh Turki. Menlu Turki Mevlut Cavusoglu menyebut bahwa kritik yang diterima Turki pasca insiden tersebut terkesan “tidak adil”.

Cavusoglu menyebut bahwa susunan dua kursi kehormatan sudah “sesuai dengan permintaan protokoler Uni Eropa.” Kementerian Luar Negeri Turki juga menyebut bahwa Sofagate terjadi karena “miskoordinasi dan kelalaian” protokoler Uni Eropa.

Namun, juru bicara Uni Eropa menyebut bahwa mereka ingin posisi duduk von der Leyen “serupa dengan Michel.”

Isu pemberdayaan perempuan dan kesetaraan gender memang menjadi masalah yang pelik pada satu dekade terakhir, terutama setelah 54% orang yang kehilangan pekerjaan karena COVID-19 adalah perempuan. Sayangnya, sejumlah negara masih belum mengacuhkan isu tersebut, seperti Turki sendiri yang mundur dari Konvensi Anti-Kekerasan Perempuan Istanbul pada Maret 2021.Sofagate ini akhirnya menambah ketidaknyamanan bagi Turki dalam hubungannya yang sudah kurang baik dengan Uni Eropa.

Tentang Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *