Suu Kyi Divonis Dua Tahun Penjara oleh Junta dan Reaksi Dunia yang Berubah

0

Ilustrasi Aung San Suu Kyi. Foto: AP

Penasihat Utama Negara Myanmar dan mantan aktivis demokrasi Myanmar Aung San Suu Kyi dinyatakan bersalah oleh junta militer Myanmar atas tuduhan menciptakan kerusuhan dan melanggar protokol COVID-19 sehingga ia dijatuhi hukuman dua tahun penjara.

Dikutip dari BBC News, vonis tersebut masih belum mengakhiri pengadilan yang dijalani Suu Kyi. Ia masih harus menghadapi rangkaian pengadilan lain yang secara keseluruhan akan memutuskan nasib sebelas tuduhan yang dituduhkan kepadanya.

Berbagai negara pun mengajukan protes terhadap putusan junta militer pimpinan Min Aung Hlaing tersebut, tetapi pengadilan tersebut tidak terlalu menarik perhatian luas secara internasional.

Hal tersebut diantaranya disebabkan oleh rusaknya kredibilitas Suu Kyi sebagai pejuang HAM dan demokrasi karena diamnya perempuan 76 tahun itu terhadap pembantaian Rohingya.

Hukuman yang Tidak Adil dan Direncanakan

Vonis Suu Kyi tidak pernah lepas dari penggulingan dirinya sebagai pemimpin de facto Myanmar dalam kudeta yang diinisiasi Jenderal Min Aung Hlaing pada awal tahun ini.

Kudeta yang berkaitan dengan tuduhan kecurangan Pemilu 2020 tersebut memicu demonstrasi besar-besaran yang menciptakan ribuan orang tewas karena represi junta militer.

Setelah kudeta dan selama masa demonstrasi tersebut, Suu Kyi ditahan di tempat yang tidak diketahui khalayak. Ia pun menjadi satu dari 10.600 orang yang ditahan sejak kudeta dilakukan.

Presiden Myanmar serta sekutu Suu Kyi dalam partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD), Win Myint, juga ditahan dan dijatuhi hukuman empat tahun penjara oleh junta militer.

Tuduhan yang dijatuhkan kepada Suu Kyi sangat beragam. Selain melanggar protokol COVID-19 dan memicu kerusuhan, ia dituduh melakukan korupsi dan melanggar hukum rahasia negara. Ia pun juga akan diadili karena tuduhan memiliki walkie-talkie ilegal.

Akses informasi dari nasib Suu Kyi pun juga sangat terbatas. Pengacara Suu Kyi—satu-satunya sumber informasi pengadilan—dilarang untuk membuka informasi kepada publik oleh pengadilan junta militer.

Dikutip dari BBC News, juru bicara dari Pemerintah Persatuan Nasional, kelompok pro-demokrasi dan anti-kudeta yang mengklaim sebagai pemerintahan resmi Myanmar, menyampaikan bahwa Suu Kyi sedang “berjuang.”

“Ia tidak baik-baik saja. Militer mempersiapkan hukuman penjara 104 tahun baginya,” ujar juru bicara tersebut. “Mereka (militer) ingin Suu Kyi mati di penjara,” tambahnya.

Tuduhan yang beragam tersebut serta pernyataan juru bicara Pemerintah Persatuan Nasional memperlihatkan adanya dugaan bahwa segala tuduhan kepada Suu Kyi merupakan hal yang sudah direncanakan.

Reaksi Internasional yang Sepi

PBB, negara-negara di dunia, dan NGO pun bereaksi keras terhadap putusan tersebut.

Kepala Dewan HAM PBB Michelle Bachelet mengecam pengadilan Suu Kyi sebagai “sham trial” dan menyebut bahwa pengadilan tersebut hanya akan “memperdalam penolakan terhadap kudeta.”

Sementara itu, Menteri Luar Negeri Inggris Liz Truss meminta Myanmar untuk melepaskan seluruh tahanan politik dan mengembalikan politiknya ke demokrasi.

Amnesty International pun menyebut tuduhan terhadap Suu Kyi “bohong” dan menyebutnya sebagai “contoh terbaru dari keinginan junta militer untuk menghilangkan oposisi dan mencekik kemerdekaan di Myanmar.”

Namun, reaksi internasional cenderung berakhir di situ. Tidak ada kutukan yang lebih luas atau bahkan panggilan demonstrasi besar-besaran di berbagai belahan dunia.

Pasalnya, selain karena COVID-19, ketiadaan reaksi berskala besar tersebut disebabkan oleh hancurnya reputasi Suu Kyi sebagai pejuang HAM dan demokrasi.

Suu Kyi selama ini dikenal sebagai aktivis politik dan oposisi junta militer ternama di Myanmar. Aktivismenya membuat ia hidup dalam tahanan rumah selama 15 tahun dalam rentang waktu 1989 hingga 2010. Meskipun demikian, ia juga mendapatkan hadiah Nobel Perdamaian berkat aktivismenya.

Reputasinya rusak setelah ia sebagai pemimpin Myanmar cenderung mendiamkan pembantaian orang Rohingya di Rakhine oleh militer Myanmar. Berbagai aktivis berbalik menentangnya, bahkan sejumlah institusi mencabut penghargaan yang pernah diberikan kepada dirinya.

Ia bahkan datang ke Mahkamah Pengadilan Internasional (ICJ) pada tahun 2019 untuk membela negaranya dari tuduhan genosida Rohingya.

Sekarang, hampir tidak ada yang bereaksi atas penahanan Suu Kyi selain beberapa kutukan formal. Namun, pengadilannya tetap harus dikawal karena ia sama-sama menjadi korban dari pihak-pihak otoriter.

Tentang Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *