Tahun 2020 dan Jalan Panjang Demokrasi Singapura

0

Bendera SIngapura. Foto: Wikimedia Commons.

Tahun 2020 nampaknya menjadi tahun yang cukup dinamis dalam politik Asia Tenggara, di awal tahun kita sudah diperlihatkan dengan gonjang-ganjing perpolitikan Malaysia yang membuat Mahathir Muhammad turun dari jabatannya sebaga perdana menteri yang kemudian digantikan oleh Muhyidin Yasin yang membubarkan koalisi bersama Pakatan Harapan dan membentuk koalisi Perikatan Nasional bersama Barisan Nasional serta partai di Sabah dan Sarawak, yang di kemudian hari memaksa Mahathir Muhammad membentuk partai baru bernama “Pejuang” dan idola netizen Indonesia, Syed Saddiq juga membentuk partai baru dengan nama “Muda” yang manuver politiknya yang sangat aktif.

Beralih sedikit ke utara, kondisinya lebih ekstrim lagi. Thailand juga sedang demonstrasi besar-besaran terhadap pemerintah dan monarki. Demonstrasi tersebut bahkan menghasilkan istilah baru yaitu Milk Tea Alliance, sebuah term yang menggambarkan rasa persatuan demonstran Thailand dengan demonstran dari Taiwan dan Hongkong yang saat ini sama-sama mengalami masalah demokrasi. 

Namun, hal ini tidak terjadi saat kita membahas Singapura. Rasanya membahas politik adalah hal terakhir yang ingin kita bicarakan ketika membahas Singapura. Negara ini tampak sungguh stabil dan terlihat tanpa celah. Akan tetapi, dibalik segala bentuk kestabilan yang tampak, satu-dua hal mungkin membuat kita lebih bersyukur tinggal di Indonesia.

Gambaran Umum Demokrasi Singapura 2020

Setidaknya di tahun 2020 terdapat dua hal yang dapat memberikan garis besar gambaran mengenai Demokrasi di Singapura yaitu Pemilihan Umum pada bula Juli kemarin dan aksi demonstrasi oleh Jolovan Wham.

Sejak tahun 1959 pemerintahan Singapura selalu dikuasai oleh People’s Actions Party (PAP), sebuah partai yang didirikan oleh Lee Kuan Yew yang juga merupakan bapak bangsa Singapura. Sejak tahun 2004, kepemimpinan partai ini dilanjutkan oleh anaknya, Lee Hsion Loong, yang juga menjabat sebagai Perdana Menteri menggantikan Goh Chok Tong. Pemilihan Umum yang diadakan sejak tahun 1959 hingga tahun 2020 juga menunjukan superioritas PAP, bahkan hasil pemilu 1968 hingga 1980 menunjukan hasil Clean Sweep atau semua kursi parlemen diisi oleh PAP (Fetzer, 2008). 

Pada tahun 1988 diperkenalkan sistem baru dalam parlemen Singapura yang disebut dengan group representation constituency (GRC), GRC adalah sebuah sistem konstitusi yang terdiri atas sekumpulan orang yang terdiri atas tiga sampai dengan enam orang yang salah satunya merupakan etnis minoritas di Singapura baik Melayu, India bahkan Eurasia. Hal ini ditujukan untuk menjamin tersedianya perwakilan kelompok minoritas di dalam parlemen Singapura (Hwee, 2002).

Pada pemilihan Juli 2020 merupakan salah satu pemilihan yang monumental dalam perpolitikan Singapura, pada pemilu ini terjadi penambahan kursi parlemen dari yang awalnya berjumlah 89 kursi di tahun 2015 menjadi 93 kursi yang daerah konstitusinya terbagi atas 17 GRC dan 14 single member constituency (SMC). Bagi PAP sendiri tidak ada pengurangan jumlah kursi di parlemen, tetapi bagi Workers Party (WP) pimpinan Pritam Singh hal ini cukup menggembirakan ketika terjadi penambahan yang cukup signifikan yaitu dari enam kursi pada pemilu 2015 menjadi 10 kursi pada pemilu 2020. Di beberapa daerah pemilihan seperti Hougang SMC dan Aljunied GRC, WP menang menyakinkan dan secara tidak terduga menang di daerah pemilihan baru Sengkang GRC dan membawa nama-nama baru nan progresif seperti Jamus Lim, Raeesah Khan, He Ting Ru dan Louis Chua mendampingi nama-nama senior seperti Pritam Singh, Faisal Manap, Gerard Giam dan Sylvia Lim. Bahkan, di daerah pemilihan Pesisir Timur GRC hanya kalah tipis dari PAP yang mencalonkan Heng Swee Keat yang juga merupakan wakil Perdana Menteri Singapura yang  diramalkan beberapa pihak akan menjadi Perdana Menteri di masa yang akan datang.

Selain WP, terdapat juga beberapa partai yang cukup menarik untuk diamati yaitu Progress Singapore Party (PSP). PSP didirikan tahun 2018 oleh Tan Cheng Bock yang merupakan salah satu mantan anggota dari PAP, bahkan di tahun 2011 Tan Cheng Bock mencalonkan diri menjadi presiden walaupun akhirnya dikalahkan oleh Tony Tan Keng Yam, pada pemilu 2020 PSP berhasil menempatkan dua perwakilannya sebagai Non constituency member of parliament (NCMP), tempat NCMP adalah anggota parlemen yang tidak mewakili suatu daerah pemilihan, tetapi memiliki hak layaknya anggota parlemen. Salah satu yang menarik adalah kehadiran Lee Hsien Yang yang merupakan salah satu anak dari Lee Kuan Yew dan juga adik dari Lee Hsien Loong sebagai salah satu kader dari partai ini .

Jolovan Wham

Selain membahas Pemilu, ada satu nama yang mungkin harus diperkenalkan jika membicarakan politik Singapura di tahun 2020, yakni Jolovan Wham. Jolovan Wham mungkin tidak terlalu dikenal aktifitas politisnya jika dibandingkan dengan Joshua Wong dari Hong Kong, tetapi namanya sempat mencuri perhatian beberapa media massa. Jolovan Wham menghadapi dakwaan hukum setelah mengadakan aksi protes seorang diri di beberapa tempat seperti MRT dan kantor polisi. Dakwaan ini dikarenakan Jolovan Wham dianggap melakukan pertemuan massa tanpa izin dan tidak berada di tempat yang diizinkan.

Sebelum membahas mengenai Jolovan Wham lebih lanjut, rasanya kita perlu untuk memahami mengenai aktifisme di Singapura terlebih dahulu. Di negara tersebut demonstrasi besar besaran adalah sesuatu yang langka dan jarang terjadi dikarenakan setiap unjuk rasa harus terlebih dahulu mendapatkan izin dari pihak terkait. Satu-satunya tempat yang diperbolehkan untuk melakukan demonstrasi adalah Speakers Corner yang terletak di salah satu taman di Singapura, yang sebelum digunakan para demonstran harus terlebih dulu memberitahukan maksud penyampaian pendapat mereka 30 hari sebelum hari demonstrasi.

Dikutip dari BBC, aksi yang dilakukan olehnya cukup menarik yaitu Jolovan memegang sebuah karton dengan gambar emoticon smiley yang digambar tangan di depan sebuah gedung (BBC, 2020). Bagi beberapa orang, tentu tidak ada yang salah dengan simbol tersebut, akan tetapi tentunya berbeda arti jika simbol tersebut dipegang oleh seseorang yang memiliki rekam jejak aktifisme dan sempat berhubungan dengan Joshua Wong melalui aplikasi telepon video (BBC, 2020). Dakwaan atas aksi Jolovan Wham ini sedikit banyak membuat mata kita terbuka mengenai sistem kebebasan berpendapat di Singapura, atau bahkan membuat sebagian dari kita mulai mensyukuri bahwa kebebasan berpendapat di negara kita tercinta lebih baik dibandingkan dengan negara tetangga.

Kesimpulan

Selama masa kampanye Pemilu Singapura, saya sering mengamati sebuah akun Instagram bernama “Wake Up Singapore”, dalam salah satu highlight di profil mereka terdapat mengapa alasan membuat akun tersebut yaitu mereka menganggap bahwa media massa yang ada sangat pro pemerintah, parlemen yang terlalu didominasi oleh sebuah partai membuat sebuah undang-undang dengan mudah disahkan tanpa banyak perlawanan dan oposisi yang tidak cukup kuat untuk bersaing dengan partai penguasa. Jika dilihat dari konten yang mereka unggah berupa meme nampaknya ini adalah dibuat oleh anak-anak muda Singapura yang mencoba memberitahukan apa yang sedang terjadi di negara yang terlihat sangat stabil dan sempurna dari luar.

Nyatanya, memang terdapat beberapa hal yang harus disoroti ketika membicarakan politik Singapura. Negara ini memang memilik peringkat yang sangat baik di bidang ekonomi bersaing dengan negara-negara Eropa Barat, Skandinavia, dan Amerika Utara sedangkan di sisi demokrasi negara ini malah berkutat di posisi 75 dari 160 negara di dunia di bawah Indonesia, Thailand bahkan El Salvador. Mungkin hasil Pemilu terbaru tampak memperkuat legiitmasi pemerintah dan demokrasi Singapura, tetapi dakwaan yang dihadapi oleh Jolovan Wham karena aksi seorang dirinya menjadi indikator jelas bahwa masih terdapat jalan yang panjang bagi demokrasi Singapura agar bisa berada di level yang sama dengan ekonominya.

Referensi

Jurnal

Fetzer, J. S. (2008). Election Strategy and Ethnic Politics in Singapore. Taiwan Journal of Democracy. 4(1). 135-153.

Hwee, Y. L. (2002). Electoral Politics in Singapore. Electoral politics in Southeast & East Asia. 203-232.

Laporan

Economist Intelligence Unit. (2020). Democracy Index 2019. London: The Economist.

Artikel Daring

BBC. (2020, November 27). Singapore: Jolovan Wham charged for holding up a smiley face sign. BBC. https://www.bbc.com/news/world-asia-55068007

Tentang Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *