Tentang Komodifikasi, Kesakralan Moral, dan Batasan Pasar

0

Ilustrasi Red Light District, tempat prostitusi paling terkenal di seluruh dunia. Foto: pixabay.com.

Salah satu ingatan masa kecil yang paling saya ingat adalah ketika saya berkunjung ke rumah sepupu yang jaraknya dapat ditempuh dengan berjalan kaki. Setiap datang, sepupu-sepupu saya sangat kreatif dalam memberikan permainan. Pernah suatu kali, kami berjanji untuk membeli barang-barang di warung depan rumahnya, lalu dijajakan kembali di atas meja lipat miliknya yang bergambar karakter Naruto dan putri-putri Disney. 

Saat barang sudah dibeli, kami menatanya di meja yang sudah tersusun rapi di atas kasur. Ada beberapa meja dengan dagangan yang persis sama. Kami menulis harga untuk makanan ringan, menempel kertas tersebut dengan double tape di ujung meja atau diatas tembok kios kecil kami. Setelah itu, seseorang dari kami akan memanggil para orang tua yang sedang berbincang di ruang tamu. Mereka akan masuk kamar dan membeli barang dagangan anak-anaknya, dengan harga yang sudah ditetapkan. 

Ada sepupu saya yang menjual kembali barang miliknya sendiri, seperti boneka, krayon yang sudah dipakai, bantal, guling, dan lain sebagainya. Sebagian dari kami menganggapnya curang karena meraup untung tanpa membeli barang terlebih dahulu di warung depan. Orang tuanya tetap membeli dagangannya tersebut, sebelum dikembalikan ke kasur.

Peristiwa ini menjadi pertama kalinya kepala saya dikunjungi pemikiran tentang, “apa semuanya boleh dijual? Atau ada yang tidak boleh dijual?”

——

Di puncak Revolusi Prancis tahun 1793, Marie Antoinette dan suaminya, Louis ke-16, dipenggal di hadapan rakyatnya sendiri. Seusai pemenggalan, masyarakat mencelupkan sapu tangan ke ember berisi darah dua orang tersebut untuk dijadikan buah tangan atau dijual kembali.

Semasa Perang Dunia kedua, Suku Dayak membantu sekutu untuk menumpas pasukan Jepang. Sesuai dengan tradisinya, para petarung Dayak menebas kepala musuh dan menyimpannya sebagai simbol kemenangan. Tengkorak kemenangan (victory skull) dibawa pulang oleh tentara sekutu, khususnya Amerika Serikat, yang didapat atau dibeli dari orang Dayak.

Selain dua contoh di atas, masih banyak contoh umum terkait komodifikasi yang kini tak lazim namun terjadi di masa lampau. Seperti pasar budak di hampir semua kultur dominan dunia pada zaman dahulu. Mesir Kuno menjual budak Nubia, pasar budak di Lagos, dan pasar budak Kesultanan Utsmaniyah, di mana para budak dibiarkan telanjang untuk dipilih.

Atau penjual bayi di Inggris Era Victoria?

Bayangkan, dengan standar moral tahun 2020, apakah hal-hal tersebut dapat dibenarkan secara moral (morally right) untuk dijual di pasar? 

Sampai 3 tahun lalu, orang-orang di sekitar saya masih banyak yang menganggap prostitusi sebagai sesuatu yang tak bermoral dan tidak seharusnya menjadi komoditas di pasar. Tampak basis moral berubah lumayan cepat dengan banyaknya pertukaran ide di media sosial, dengan bukti bahwa sekarang orang-orang tersebut lebih memaklumi prostitusi. Bahkan, tak segan-segan menghadapi siapapun yang dianggap melakukan slut-shaming.

Banyak sekali komoditas yang dimaklumi atau dianggap tak bermoral untuk dijajakan di pasar dalam rentang sejarah manusia. 

Jason Brennan dan Peter Jaworski memberikan pandangan mereka tentang moralitas di pasar dalam bukunya, Market without Limits: Moral Virtues and Commercial Interest. Dirilis tahun 2016, buku ini memaparkan bahwa tidak ada hal yang secara inheren dilarang untuk diperjualbelikan.

Buku ini terdiri dari empat bagian, dengan tesis utama yang menaungi debat filosofis untuk menjawab segala persoalan yang disajikan disini adalah “if you may do it for free, you may do it for money.” 

Penjualan organ manusia dianggap sebagai sesuatu yang tak bermoral. Persediaan organ dianggap langka (scarce) sehingga beberapa pasien yang membutuhkan organ, membelinya secara ilegal. Di Amerika Serikat, penjualan organ dilarang dibawah National Organ Transplant Act. Bahkan, mendorong seseorang untuk mendonasikan organnya juga disebut ilegal. 

Pada tahun 1980-an, Iran mengalami kekurangan ginjal yang disumbangkan secara legal. Hal ini diperparah dengan peralatan dialisis untuk pengobatan masyarakat yang sedang menderita penyakit ginjal stadium akhir (ESRD) berada di bawah standar. Akibatnya, pada tahun 1988, Iran memutuskan strategi yang bisa dibilang kontroversial yaitu melegalisasi penjualan ginjal dari orang yang masih hidup dengan konsen mereka. 

Kebijakan legalisasi dari pemerintah ini menyelamatkan banyak nyawa, meskipun dengan mengabaikan prinsip moral orang kebanyakan. 

Penjualan ginjal merupakan yang paling marak terjadi dan dihargai paling mahal. Selain karena permintaannya tinggi, manusia dapat hidup hanya dengan satu ginjal. Sehingga mereka dapat memiliki kuasa untuk bernegosiasi tentang harga yang ia inginkan. Permintaan ginjal biasanya berasal dari kelas menengah ke atas, sementara penyuplainya berasal dari kalangan bawah yang rentan dalam sisi finansial. Kondisi operasi yang buruk karena kurangnya regulasi, juga ketiadaan hukum untuk membela mereka yang menjual organ dengan bayaran yang tidak setimpal, membuat pasar gelap organ menjadi benar-benar gelap. Hal-hal ini justru mungkin tidak akan terjadi apabila pasar gelap untuk organ ditiadakan dengan legalisasi penjualan organ.

Penulis tidak percaya adanya keberadaan nilai intrinsik dalam hal batas pasar. Namun, penulis juga percaya ada sesuatu yang memang tidak boleh diperjualbelikan dalam kondisi apa pun karena melanggar batas hak asasi seseorang.

Contohnya adalah pornografi anak. Bukan karena pasarnya yang salah, juga bukan karena pornografi anak diperjualbelikan (karena mendapatkannya secara cuma-cuma juga salah). Kesalahannya terletak di pornografi anak itu sendiri. Seperti perbudakan, pornografi anak melanggar hak mereka.

Contoh lainnya adalah organ harvesting dan human trafficking. Kedua ide ini salah dari ide awalnya, bukan dari kegiatan jual-belinya (karena mendapatkannya secara gratis juga salah). Korban tidak memiliki konsen terhadap tindakan ini. Brennan dan Jaworski dalam bukunya juga menyoroti soal konsen dan hak asasi ini, yakni dalam konteks hak properti dan pelanggarannya.

Contoh yang lebih kontroversial di Indonesia mungkin adalah menjual rokok ke anak kecil. Tentu saja, jual-beli rokok tidak salah. Namun, menjualnya ke anak-anak di bawah umur yang belum memiliki pengetahuan tentang bahaya rokok maupun komposisinya, sehingga kebebasan pilihan mereka dibatasi pengetahuan, jelas salah.

Penulis juga membedakan pandangan ini dari etika bisnis. Etika bisnis membahas tentang cara yang benar dan salah untuk terlibat dalam pasar. Mereka menerima bahwa ada cara yang benar dan salah untuk menjual barang; ada pembatasan waktu, tempat, dan cara yang sah pada pasar individu. Contohnya ketika ada seseorang yang menjual stik drum kepada pembunuh. Menjual stik drum adalah hal yang lazim dilakukan dan tidak ada batasan moral. Wong buat gebuk drum, kok. Namun, menjualnya saat ada pembunuh berdarah dingin dihadapan korbannya itu salah. Ini lah batas kontingensi dari pasar.

Selain itu, kita juga harus membedakan antara legality dan moral permissibility. Sesuatu yang menurut standar moral kita tidak diperbolehkan, bukan berarti harus dilarang secara hukum.

Kritik selalu datang dari para anti-komodifikasi. Argumen paling umum berkaitan dengan nilai yang dikandung dalam suatu komoditas dapat mengalami degradasi apabila dijadikan komoditas jual-beli. Maka itu, seks yang dianggap sakral dan harusnya menjadi suatu kegiatan di bilik pasangan yang disatukan dalam nama Tuhan tidak seharusnya diperjualbelikan. Karena akan menodai kesakralan seks itu sendiri. Kegiatan membuat sesuatu sebagai komoditas jual-beli dianggap salah secara moral. 

Menjual atau membeli sesuatu tidak menyiratkan hal tersebut memiliki nilai instrumental murni. Orang membeli hewan peliharaan dan juga tetap mencintai mereka, menganggap peliharaannya sebagai keluarga. Kitab suci diperjualbelikan tanpa mendegradasi nilainya, benda itu tetap diperlakukan dengan hati-hati oleh umatnya, dijaga dengan baik dan dihormati.

Pertanyaan menarik tentang pasar bukanlah apa yang bisa kita beli dan jual, tetapi bagaimana kita harus membeli dan menjualnya. Cara-cara tertentu untuk membeli dan menjual barang-barang mungkin salah, tetapi itu tidak berarti barang tersebut tidak boleh dibeli atau dijual. Sesuatu yang diperjualbelikan tidak mendegradasi fungsi dan nilai suatu hal. Apabila kita membuat pasar jasa ciuman, orang tidak akan membenci ciuman atau memperlakukan ciuman dengan semena-mena dengan teknik ciuman yang jelek seperti Johnny Depp dan Angelina Jolie di film The Tourist, atau Emma Watson dan Rupert Grint di film terakhir yang menutup franchise Harry Potter.

Aurelia Vizal adalah Ambassador dan Spokesperson untuk Generasi Melek Politik dan Kontributor Kontekstual. Dapat dihubungi di Instagram @aureliavizal dan surel aureliavizal@aol.com

Tentang Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *