Terbitkan Undang-Undang Sesuka Hati, Demokrasi Kian Dikebiri?

0

Ilustrasi demonstrasi menuntut oligarki. Foto: pixabay.com.

Diskursus reformasi seringkali dinyatakan sebagai kemenangan gerakan masyarakat sipil yang berhasil menumbangkan rezim otoriter Soeharto selama 32 tahun lamanya. Apabila kita menarik pernyataan tersebut ke dalam realita dan situasi sekarang, tampaknya timbul pertanyaan yang masih terjawab secara samar atas apa sesungguhnya core of value dari implementasi reformasi itu sendiri.

Sejauh mana anggapan “kemenangan masyarakat sipil” masih relevan? Apakah reformasi hari ini masih memiliki resonansi untuk mengubah lanskap politik menjadi lebih egaliter dan demokratis bagi rakyatnya? Masih mampukah reformasi membebaskan Indonesia dari bayang-bayang kungkungan rezim Orde Baru? Mengapa kebebasan demokrasi kian mengkhawatirkan? Mengapa jalannya era reformasi justru masih dikuasai oleh segelintir atau kelompok tertentu?

Mau dibawa ke mana masa depan reformasi kita?

Romantisme reformasi yang dinikmati hari ini, berhasil membuat kita terbuai dan terlena dalam euforia, tanpa melibatkan pemikiran progresif, dan justru mengantarkan kita kepada tanda tanya besar akan masa depan Indonesia. Akibatnya, 22 tahun perjalanan reformasi yang telah dirintis tampak pudar dari cita-cita luhur sebelumnya.

Berkaca pada Perjuangan Mengakhiri Orde Baru

Politik supresif, korporatisme, diktatorialisme, sentralitas kekuasaan dan wewenang, korupsi, kolusi, dan nepotisme, serta berbagai problem sosial lain yang lahir dari rezim Orde Baru berhasil menorehkan sejarah yang berujung pada timbulnya protes massa yang besar. Gerakan penumbangan kekuasaan yang penuh arogansi saat itu menempatkan puncak momentumnya pada 21 Mei 1998, ketika Soeharto menyatakan diri untuk mundur dari kursi kepresidenan akibat merebaknya protes sosial secara nasional.

Gerakan reformasi memperoleh legitimasinya secara genuine dengan memanfaatkan situasi krisis moneter yang menghantam Indonesia pada pertengahan tahun 1997, yang kemudian tidak dapat dibendung oleh rezim pemerintahan saat itu. Kenaikan Bahan Bakar Minyak (BBM), yang kemudian disusul dengan melonjaknya harga berbagai kebutuhan pokok dan kebutuhan dasar lainnya, semakin mencekik serta menyudutkan rakyat, khususnya masyarakat yang termarjinalkan dalam bingkai kemiskinan yang jauh dari kehidupan sejahtera, sebagaimana diamanatkan dalam konstitusi dan Pancasila. Akhirnya, gerakan reformasi pun melahirkan enam agenda tuntutan yang terdiri dari (1) adili Soeharto dan kroni-kroninya; (2) laksanakan amandemen UUD 1945; (3) hapuskan Dwifungsi ABRI; (4) pelaksanaan otonomi daerah yang seluas-luasnya; (5) tegakkan supremasi hukum; (6) ciptakan pemerintahan yang bersih dari KKN.

Meskipun berhasil menggulingkan rezim Orde Baru, namun agenda tuntutan reformasi masih belum sepenuhnya berhasil direalisasikan dan dibanggakan. Alih-alih mengawal dan mewujudkan tuntutan itu, para reformis yang berjuang dahulu malah terjerumus dengan ambisi politik dan kepentingan kelompok. Hal ini menunjukkan bahwa semangat api idealisme akan padam ketika disiram dengan kursi kekuasaan. Para reformis menganggap bahwa perjuangan mereka telah berakhir, dengan hanya sebatas memenuhi gairah menjatuhkan kekuasaan rezim Orde Baru, lalu berlomba untuk mengisi kursi-kursi kekuasan tersebut.

Semuanya Akan Konservatif Setelah Berkuasa

Senada dengan apa yang dinyatakan oleh Hannah Arendt, bahwa mereka yang revolusioner akan berubah menjadi konservatif sehari setelah revolusi selesai. Kekosongan kursi jabatan menjadi oase yang menggiurkan, terlebih jika dibandingkan dengan menyusun arah masa depan reformasi yang lebih demokratis, bebas korupsi, keadilan persamaan dimata hukum, dan kesejahteraan rakyat Indonesia. Konsekuensinya ialah keadaan reformasi kita hari ini seperti telah berhenti di jalan buntu, dan belum sampai pada tujuan titik terang. Yang dikhawatirkan, nilai-nilai perjuangan reformasi menjadi stagnan di tempat dan akan hilang dimakan oleh zaman di tiap generasinya.

Kegagalan reformasi tampak jelas dilihat pada berbagai hal, seperti terkekangnya kebebasan berekspresi dan berpendapat baik melalui regulasi maupun tindakan represif dari aparat. Korupsi masih saja menjadi tradisi dan didukung dengan kondisi KPK yang semakin dikerdilkan. RUU Cipta Kerja Omnibus Law sangat menguntungkan para investor dan tidak mengindahkan aspek lingkungan hidup serta mengesampingkan partisipasi publik. Lalu, adanya RKUHP yang memuat pasal-pasal kontroversial dan asal-asalan.

Belum lagi soal pengesahan atas perubahan UU Minerba yang dikehendaki secara sepihak dan diam-diam tanpa melibatkan aspirasi rakyat. Bahkan, aspek kesehatan pun tidak luput dari perhatian, dengan secara tiba-tiba menaikan iuran BPJS ditengah situasi yang sulit. Kebijakan ini bukannya malah membantu rakyat sembuh, justru semakin membuat rakyat sekarat. Hal ini membuat cara pemerintah dalam menyejahterakan rakyat perlu dipertanyakan. Tentunya, rentetan fenomena tersebut menjadi catatan kelam selama 22 tahun reformasi bergulir akhir-akhir ini. Reformasi yang kian mengikis nilai-nilai demokrasi rakyat.

Kebijakan yang diambil secara sepihak ini menimbulkan kecurigaan publik tentang negara yang seharusnya menjadi pihak yang senantiasa menjadi pelindung yang dapat mendistribusikan keadilan secara merata. Namun, nyatanya pemerintah justru kerap kali menimbulkan berbagai keriuhan publik karena kebijakannya dinilai tidak berorientasi pada kebaikan rakyat. Kebijakan ini pun dirasa lebih menguntungkan pihak pemodal dan kepentingan kelompok elit partai politik (oligarki).

Indonesia Dalam Lingkaran Oligarki

Semenjak kejatuhan Soeharto, Indonesia tidak hanya memasuki babak baru politik demokrasi, melainkan juga telah memasuki politik berbiaya tinggi. Sebab sistem demokrasi banyak memunculkan para aktor politik dan partai politik baru yang berlomba-lomba saling bersaing satu sama lain demi mengambil kursi kekuasaan.

Dalam merebut suara dan perhatian rakyat, dibutuhkan sokongan kekuatan materil yang begitu kuat. Tentunya, pada konteks ini para kandidat dan partai politik mau tidak mau harus mencari sponsor dana untuk menyongsong setiap aktivitas politiknya, Dalam situasi ini, para oligarki yang memiliki kekayaan materiel berlimpah menaruh investasinya pada aktor politik yang akan duduk di pemerintahan.

Hal ini pun membuat transformasi politik menjadi semacam aktivitas ekonomi yang untung-rugi. Sebagai penyokong dana, para oligarki tentu memiliki berbagai kepentingan yang harus disuarakan oleh para kandidat ataupun partai politik. Kekuatan materiel merupakan bentuk kekuatan yang paling serbaguna, karena mudah diubah menjadi manifestasi bentuk kekuatan atau kekuasaan lainnya.

Adanya aktor politik yang duduk di kursi pemerintahan dan kelompok oligarki di partai politik menciptakan hubungan kausalitas yang saling mempengaruhi satu sama lain. Pemerintah dapat berfungsi sebagai fasilitator dalam melegitimasi proses dominasi kekuatan oligarki melalui berbagai kerangka hukum, ketimbang melayani masyarakat. Sedangkan yang kita ketahui bersama bahwa kelompok oligarki dipenuhi oleh orang-orang berkantong tebal dan bermodal yang memiliki kekayaan melebihi kekayaan rakyat pada umumnya. Sehingga para oligarki lebih berfungsi sebagai donatur dalam menyuap orang-orang di pemerintahan dalam melakukan aksi politiknya.

Demokrasi Oligarki

Demokrasi yang diterapkan pada masa reformasi, khususnya pada era pemerintahan akhir-akhir ini tidak melahirkan suatu perubahan politik yang progresif. Keberadaan partai politik yang seharusnya menjalankan fungsinya di negara demokrasi sebagai sarana komunikasi politik, nyatanya hanya mementingkan kepentingan kelompok dibandingkan aspirasi rakyat. 

Kehadiran partai politik sebagai instrumen demokrasi kelembagaan representatif sangat signifikan dalam memberikan harapan pada jalannya transisi politik. Sayangnya, lagi dan lagi partai politik pun juga dipenuhi oleh para oligarki, baik itu yang memiliki modal ataupun aktor-aktor bekas di masa orde baru. Maka, sampai disini pun permasalahan reformasi bukan hanya sebatas pada tuntutan agenda yang belum terealisasi secara optimal dan komprehensif, melainkan juga dikarenakan adanya lingkaran oligarki.

Lingkaran oligarki di sistem pemerintahan sangat berbahaya dan mengancam esensi berdemokrasi bagi rakyat. Sebab, kekuatan kepemilikan materi ini kemudian menjadi power untuk mendikte dan mendistorsi kebijakan negara. Alhasil, sesungguhnya hak istimewa berdemokrasi hanya dimiliki oleh sekelompok kecil elit politik. Adanya hubungan politis ini pada akhirnya tidak dapat dikompromi dengan kepentingan rakyat. Keberhasilan politisi yang didukung oleh pendanaan oligarki menjadikan kinerja politisi tidak untuk didistribusikan kepada rakyat, melainkan sebagai bentuk abdi pada oligarki. Imbasnya, jika melihat berbagai kebijakan yang lahir akhir-akhir ini, semuanya akan bermuara dan menguntungkan kepentingan oligarki.

Berbagai janggalnya kebijakan pemerintah ataupun wacana politik akhir-akhir ini seperti disahkannya Revisi UU KPK, RKUHP, RUU Cipta Kerja, ataupun masifnya politik akomodatif yang membuat koalisi pemerintah begitu gemuk, semakin memperjelas bahwa politik oligarki benar-benar terjadi di Indonesia.

22 tahun reformasi telah berjalan, hari ini transisi demokrasi kita berada dalam cengkraman kekuasaan oligarki. Masyarkat tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan, keputusan sepenuhnya berada di tangan pemerintah dan dipraktikan secara sepihak. Padahal, hakekat praktik demokrasi ialah adanya keterlibatan rakyat.

Jangan sampai yang kita kenal dengan vox populi vox dei bahwa suara rakyat didaulat sebagai suara Tuhan, seketika berganti menjadi daulat oligarki. Mungkin, saat ini rakyat memiliki kebebasan untuk berpartisipasi dalam pemilihan, tetapi pemilik modal yang ada di partai politik juga akan ikut campur. Karena demokrasi kita hari ini berbiaya tinggi, sponsor diperlukan untuk memenuhi biaya politik dan itu menjadi sarang oligarki yang tidak memberikan apa pun secara cuma-cuma.

Jangan sampai era reformasi demokrasi hanya menjadi casing atau bungkus dalam sistem pemerintahan kita hari ini, namun nyatanya praktik-praktik luhur pada masa Orde Baru masih saja ada. Tentunya sebagai kaum terpelajar, intelektual, dan aktivis, seorang mahasiswa memegang social control dan agen pelurus ke arah perubahan yang lebih baik. Jangan sampai juga rakyat kita terus dibodohi dan dibutakan dengan strategi politik. Jangan sampai ada reformasi jilid dua yang berakibat jatuhnya korban jiwa atau praktik penindasan pelanggaran hak asasi manusia.

Dinamika reformasi yang terjadi saat ini, justru menunjukkan keadaan yang kontras dengan kepentingan rakyat. Apabila keadaan reformasi berjalan seperti ini terus, maka pemilu hanya akan menjadi ajang bualan calon pemimpin lima tahun sekali. Pemilu yang menghasilkan golput serta munculnya ketidakpercayaan masyarakat pada lembaga-lembaga representatif merupakan bagian yang satu dari gagalnya gerakan reformasi.

Perjalanan reformasi hari ini telah kehilangan kapasitas dan idealisme untuk mengubah tatanan politik Indonesia menjadi lebih demokratis. Indonesia membutuhkan gerakan masyarakat sipil yang terintegrasi secara ideologi agar dapat keluar dari kekuasaan yang penuh tirani. Sejatinya, sebagai negara yang menganut politik demokrasi, sudah seharusnya kebijakan politik yang bergulir mengedepankan kebaikan bersama atau common good seperti apa yang dikemukakan oleh Filsuf Jean Jacques Rousseau.

Muhammad Aqshadigrama adalah Mahasiswa Ilmu Politik FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Kader Himpunan Mahasiswa Islam Komisaritat FISIP UIN Jakarta Cabang Ciputat. Dapat ditemui di Instagram @aa_aqsha

Tentang Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *