Uganda, Rwanda, dan Perbatasan: Analisis Teori Kompleks Keamanan Kawasan

0

Ilustrasi perbatasan Uganda-Rwanda. Foto: PML Daily

Pendahuluan

Uganda dan Rwanda tidak pernah mengalami eskalasi keamanan–bahkan politik–yang begitu signifikan. Rwanda di Afrika Tengah dan Uganda di Afrika Timur, memulai perjalanan historis dengan harmonis, ketika seorang Yoweri Museveni muda meluncurkan pemberontakannya untuk merebut kursi kepresidenan Uganda pada tahun 1981 dan menemukan sekutu penting dalam seorang tentara Rwanda di pengasingan bernama Paul Kagame. Dua orang mantan pemimpin gerilya tersebut telah menjadi presiden di negara mereka masing-masing selama 33 dan 19 tahun hingga saat ini. Namun, hubungan mereka telah memburuk sejak masa-masa awal selama Perang Bush di Uganda. Wilayah Katuna, persimpangan yang paling sibuk yang menjadi perbatasan kedua negara pun menjadi urusan yang sangat penting dibicarakan keduanya hingga awal tahun 2019 (Neiman, 2019). Hubungan mereka mencapai titik terendah ketika Presiden Kagame menutup perbatasan dengan negara tetangganya, Uganda, dengan menuduh Uganda melindungi ‘para pembangkang’. Dalam gerakan balasan, Uganda pun menuduh Rwanda menyimpan mata-mata di pasukan keamanan yang biasa beroperasi di daerah perbatasan Uganda-Rwanda (Ashaba & Bareebe, 2019). Hal ini berakhir pada penembakan, deportasi, berbagai upaya-upaya berbahasa keamanan dilakukan kedua negara tanpa ragu dan tidak berhenti menebar ancaman satu sama lain. 

Tidak pernah ada perjanjian khusus yang membahas perihal sengketa teritorial antara Uganda dan Rwanda, sebab secara struktur regional pun, batas ditentukan oleh faktor historis kolonialisme. Pada awalnya, cukup sulit menentukan konflik yang ada sebagai sebuah kompleks keamanan regional, tetapi penulis melihat bahwa sebelum penutupan perbatasan yang dilakukan secara sepihak oleh Rwanda, terdapat benturan persepsi di antara kedua negara, khususnya mengenai identitas. Uganda yang merupakan bekas jajahan Britania Raya dan Rwanda yang merupakan bekas jajahan Jerman, mengalami perbedaan corak perlakuan masa penjajahan yang berdampak hingga saat ini (CIA Factbook, 2018). Rwanda yang sangat identik dengan masa lalu penuh kekerasan serta ‘urusan’-nya yang tidak kunjung selesai dengan Kongo, seharusnya tidak memiliki sengketa yang cukup berarti dengan Uganda. Implikasi regional Afrika Tengah dan Afrika Timur telah memainkan peran penting dalam konsolidasi kenegaraan sebagai potensi destabilisasi internal yang berpotensi memberi dampak pada stabilitas regional. Sengketa perbatasan Uganda dan Rwanda akan menciptakan tantangan-tantangan yang menekan para pemimpin negara ke arah pembuatan kebijakan keamanan domestik dari ancaman eksternal. Belum lagi kompleksitas domestik masing-masing negara yang akan saling memengaruhi dinamika masyarakatnya, di Afrika secara umum, sangat rawan mengalami ‘perang sipil’ lanjutan karena pasukan keamanan bergerak dari tingkat yang paling dekat dengan masyarakat.

Tinjauan Teori: Teori Kompleks Keamanan Kawasan

Selain level analisis negara dan sistemik yang ditawarkan oleh perspektif realisme klasik dan neorealisme, dinamika keamanan dalam Hubungan Internasional pun dapat dianalisis melalui level regional. Namun, level regional pun dinilai kurang tajam untuk menilai isu keamanan karena terdapat dinamika lain di dalamnya yang lebih kompleks. Oleh karena itu, Barry Buzan dan Ole Waever memperkenalkan, “Regional Security Complex Theory”, kerangka kerja keamanan regional dengan mengamati sekelompok konflik keamanan yang terkonsentrasi pada regional tertentu tidak terjadi hanya karena isu keamanan, tetapi juga terdapat peran persepsi (dalam hal ini seperti identitas dan historis) seorang aktor terhadap aktor lainnya. Jika mengambil negara sebagai aktor, permasalahan keamanan dinilai lebih komprehensif karena terdapat interaksi antara suatu negara dengan negara-negara di luar kawasan, termasuk hubungan mereka dengan kekuatan besar dan/atau kekuatan super di tingkat global yang mendefinisikan keamanan suatu negara akan sangat tergantung pada negara-negara lain yang terletak di wilayah yang sama (Buzan & Waever, Regions and Powers: The Structure of International Security, 2003). Sebagai pengembangan dari teori realisme klasik dan neorealisme, teori ini akhirnya memunculkan dua kategori lainnya; kompleks homogen dan heterogen. Kompleks homogen terbentuk dengan tetap mempertahankan logika dasar teori klasik. Sementara itu, kompleks heterogen melampaui logika teori klasik dan memiliki pendapat bahwa logika regional dapat mengintegrasikan berbagai jenis aktor yang berinteraksi dalam dua sektor atau lebih (Xheladini, 2016).

Teori Kompleks Keamanan Kawasan cenderung menerapkan analisis tingkat menengah, yang menghubungkan dua tingkat lainnya, yaitu tingkat mikro dan makro. Kombinasi keduanya akan memberikan pendekatan analitik yang lebih komprehensif dan cocok untuk negara atau wilayah tertentu berdasarkan pengalaman historis atau lokasi geografis mereka. Dalam hal ini, dapat dinyatakan bahwa terdapat interaksi timbal balik dalam masalah keamanan lokal dapat ditransformasikan menjadi masalah internasional dan sebaliknya. Pada saat sistem internasional menjadi aktor terdesentralisasi baru dan masalah menghasilkan pengaruh ke dalam sistem. Dinamika yang berubah ini telah memunculkan perdebatan tentang pelebaran dan perluasan konsep keamanan yang bertentangan dengan apa yang dikenal dalam konsep yang lebih tradisional atau klasik. Ketika debat berkisar, pendekatan-pendekatan yang berupaya memberikan alat analitik untuk masalah dan masalah yang perlu dianalisis dalam lingkungan internasional yang berubah dari era pasca-perang dingin. (Buzan, Waever, & Wilde, 1998). 

Kasus Sengketa Perbatasan Uganda-Rwanda sebagai Regional Security Complex 

Seperti yang sudah sempat penulis singgung di bagian pendahuluan, bahwa kasus penutupan perbatasan sepihak oleh Presiden Kagame dari Rwanda telah menimbulkan gejolak baru yang mendorong peluncuran pasukan-pasukan keamanan di daerah sekitar perbatasan Rwanda dan Uganda. Namun anehnya, Presiden Kagame tidak melihat ini menjadi satu masalah yang perlu diperbaiki. Menurutnya, tantangan pada hubungan bilateral juga diplomatik kedua negara tidak terbatas pada masalah penutupan perbatasan, tetapi juga akibat intervensi dari berbagai pihak, termasuk negara-negara tetangganya seperti Burundi dan Kongo yang dianggap memperparah kondisi yang ada (Kagire, 2019). Hal ini semakin kompleks menggali kata “intervensi” yang dimaksud itu sebenarnya ditujukan kepada siapa. Penulis merasa akan lebih baik jika meninjau ulang apa yang sebenarnya terjadi di antara kedua negara tersebut, terutama antar presiden yang menjabat.

Museveni dan Kagame berbagi hubungan pribadi yang rumit dan tampak besar dalam krisis ini. Kedua pemimpin itu adalah lulusan Ntare High School di Uganda yang prestisius, tempat sebagian besar pemerintah Uganda dan Rwanda serta pejabat militer bersekolah. Setelah RPF mengambil alih kekuasaan pada tahun 1994, keduanya membentuk aliansi militer yang kuat dengan Komando Gabungan yang mengawasi beberapa operasi, termasuk perang tahun 1998 melawan penguasa lama Kongo. Namun, perbedaan muncul tentang bagaimana mengelola Kongo. Perbedaan-perbedaan ini semakin tajam setelah keduanya berselisih dengan Kabila dan meluncurkan pemberontakan kedua untuk menyingkirkannya. Rwanda lebih menyukai teknik merebut kota demi kota, sementara Uganda lebih menyukai pertempuran yang lebih lambat dan lebih panjang. Kedua negara akhirnya menangguhkan Komando Bersama mereka dan melepaskan pasukan mereka (Bihuzo, 2012). Hampir satu dekade setelah itu, Rwanda mulai serius menanggapi perbedaannya dengan Uganda dengan menutup perbatasan dan Uganda menuduh Rwanda menyusup ke layanan keamanannya. 

Kisah lama Uganda dan Rwanda dimulai dengan konstelasi regional Afrika yang tidak stabil, terutama di daerah Afrika Tengah, Timur, dan Selatan. Sebelum tahun 90-an, negara-negara di wilayah ini mengalami naik turun dinamika (Tordoff, 2002).  Dimulai dari masih adanya neokolonialisme hingga timbulnya gejolak domestik. Yang dalam teori Buzan, gejolak-gejolak domestik dari satu titik ke titik lainnya akan berkembang menjadi gejolak regional yang menjadi isu keamanan bersama (Buzan, 1991). Selain itu, menurut penulis, intervensi yang dimaksud pemerintah Rwanda di sini adalah kehadiran pasukan-pasukan keamanan PBB yang pada zamannya dianggap sebagai eksistensi ancaman yang akan memperparah pembentukan perdamaian domestik. 

Pola yang dimunculkan dari kasus sengketa perbatasan antara Uganda-Rwanda tidak jauh berbeda dengan pola yang ada pada kasus dilematis militer India dan Pakistan (secara umum Asia Selatan) yang sempat Buzan jadikan contoh di dalam penelitiannya. Poin paling menonjol yang membedakan Konflik Uganda-Rwanda dengan India-Pakistan adalah mengenai latar belakang serta motor penggerak konflik. Dimana dalam kasus ini, terdapat perbedaan cara berpikir pemimpin yang mempengaruhi segala jenis kebijakan hingga sampai meningkatnya tensi sekuritisasi di antara kedua negara. Konsep keamanan Buzan dari awal menegaskan bahwa hubungan keamanan di antara negara, nasibnya, terkunci dalam kedekatan geografis satu sama lain. Isu keamanan dapat dikatakan menjadi kompleks ketika sekuritas nasional secara realistis sukar untuk dipisahkan dengan kehadiran negara lain yang dekat secara geografis. Belum lagi masalah keamanan bergerak tidak hanya secara global, namun juga bergerak secara lokal sesuai unit-unit yang ada di dalamnya, karena akan selalu ada kompleksitas di dalam kompleksitas lainnya (Buzan, People, States and Fear: An Agenda for International Security Studies in the Post-Cold War Era, 1991). Pada hal ini, potensi perang antara Uganda dan Rwanda perlu dijadikan perhatian, utamanya oleh Uni Afrika, melihat konflik antarnegara bagian di Afrika telah menjadi langka hingga hari ini, kecuali beberapa persaingan domestik yang belum terselesaikan sebagai konsekuensi konflik di masa lalu. 

Ketegangan antara Uganda dan Rwanda juga memiliki implikasi langsung untuk stabilitas di wilayah Great Lakes secara lebih umum, dengan Burundi menjadi titik utama persaingan antara Kampala dan Kigali. Rwanda, yang baru-baru ini menggantikan Uganda sebagai ketua EAC, mengecam apa yang disebutnya “hubungan antara Bujumbura dan Kampala” dan menyalahkan keduanya karena mengizinkan P5 dan kelompok-kelompok bersenjata lainnya menggunakan Burundi sebagai basis operasional. PBB telah melaporkan tentang bentrokan di wilayah Kivu Selatan DRC antara pejuang P5 dan Tabara Merah, yang merupakan kelompok pemberontak terbesar yang memerangi pemerintah Burundi (Nantulya, 2019). Permusuhan antara Uganda dan Rwanda juga mengalihkan dan mengurangi kapasitas regional untuk memerangi krisis lain di wilayah Great Lakes, tidak terkecuali pemberontakan Pasukan Demokrat Sekutu (ADF), dan upaya untuk menanggapi meluasnya wabah Ebola di DRC timur. Biaya ekonomi dari krisis juga dirasakan. Impor Uganda dari Komunitas Afrika Timur (EAC) meningkat lebih dari 8 persen pada tahun fiskal 2017-2018, sebagian besar karena perdagangan dengan Rwanda dan Burundi. Ini akan berkurang secara signifikan mengingat pembatasan pergerakan melintasi perbatasan Uganda-Rwanda dan krisis berkelanjutan di Burundi. Museveni menolak masalah itu, mengatakan bahwa negaranya “akan menemukan pasar yang lebih baik.” Ia melakukannya dengan penuh dukungan militer, menandakan bahwa ini bukan hanya mengenai konflik keamanan, namun juga hingga menjadi konflik dagang (Bihuzo, 2012).

Kesimpulan

Dari pemaparan di atas, kita dapat melihat bahwa dalam kasus sengketa perbatasan antara Uganda dan Rwanda, insekuritas keamanan suatu negara dapat berkembang menjadi masalah yang lain, yang dalam hal ini adalah permasalahan jalur perdagangan serta perbatasan privasi kedua negara. Isu-isu yang menyangkut satu negara, apalagi dua negara, mampu menghasilkan gerakan politik sekuritisasi atau desekuritisasi yang tidak dapat dianalisis atau diselesaikan secara terpisah. Dari perspektif ini kita dapat mengatakan bahwa subkompleks keamanan regional sangat berpengaruh dalam menentukan keamanan regional secara umum, yang berpotensi menjalar ke arah keamanan secara global. Kita dapat melihat bahwa implikasi regional Afrika Tengah dan Timur menghasilkan perbedaan persepsi antara Uganda dan Rwanda dalam menangani masalah perbatasan. Implikasi-implikasi ini berperan dalam timbulnya masalah sosial atau budaya yang saling terkait di antara negara-negara yang bersangkutan. Pilihan-pilihan politik pun memainkan peran penting dalam membentuk peluang untuk mempertahankan keamanan negara, hingga ke tingkat keamanan sipil dan ekonomi.  

References

Ashaba, I. M., & Bareebe, G. (2019). Closed Borders and Fighting Words: Rwanda and Uganda’s Deepening Rift. Central Africa.

Bihuzo, R. M. (2012). Unfinished Business: A Framework for Peace in the Great Lakes. Africa Security Brief, 21-35.

Buzan, B. (1991). People, States and Fear: An Agenda for International Security Studies in the Post-Cold War Era. London: Harvester Wheatsheaf.

Buzan, B., & Waever, O. (2003). Regions and Powers: The Structure of International Security. Cambridge: Cambridge University Press.

Buzan, B., Waever, O., & Wilde, J. D. (1998). Security: A New Framework for Analysis. London: Lynne Reinner Publishers.

CIA Factbook. (2018). Country Comparison: Rwanda vs. Uganda. Washington DC, United States of America.

Kagire, E. (2019). Border Not The Problem – Rwanda to Uganda. Kigali, Rwanda.

Nantulya, P. (2019). Escalating Tensions between Uganda and Rwanda Raise Fear of War. Cape Town, South Africa.

Neiman, S. (2019). The Dangers of Deteriorating Relations between Rwanda and Uganda. Kampala, Uganda.

Tordoff, W. (2002). Government and Politics in Africa. New York: Palgrave Macmillan.

Xheladini, F. M. (2016). Regional Security Complex: The Macedonian Context. European Journal of Multidisciplinary Studies, 35-38.

Yasmin Nur Habibah merupakan mahasiswa Hubungan Internasional Universitas Padjajaran. Dapat ditemui di Instagram melalui nama pengguna @yasminnurh

Tentang Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *