Undang-Undang Cipta Kerja dan Urgensi Reformasi Sistem

0

Gedung DPR/MPR RI. Foto: Wikimedia Commons

Satu lagi produk hukum yang berhasil lahir meski harus mendapat penolakan hebat dari masyarakat, yakni Undang- Undang Cipta Kerja (Ciptaker). Meski mendapat penolakan hebat dan lahir secara prematur akibat kecacatan formil, undang-undang inisiatif pemerintah ini nyatanya mampu diselesaikan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) hanya dalam kurun waktu 7 bulan dengan 64 kali pembahasan. Waktu yang sangat singkat memang jika dibandingkan dengan political will DPR terhadap pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) lainnya. Terlebih, undang-undang ini terdiri atas 11 klaster yang isinya merubah ketentuan dalam 79 undang-undang yang kemudian direalisasikan ke dalam 15 bab dan 186 Pasal. 

Proses pembahasan yang cenderung tertutup serta minimnya transparansi dan partisipasi publik menjadikan undang-undang ini cacat secara formil. Sebab, dalam pengaturan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, setiap pembentukan undang-undang haruslah memenuhi asas keterbukaan serta mengdepankan partisipasi publik sebagaimana yang kemudian diatur dalam Pasal 96. Namun, undang-undang yang dominan mengatur aspek ketenagakerjaan ini nyatanya telah abai dalam mengakomodir kepentingan kaum buruh sebagai pihak yang juga terdampak dari adanya undang-undang tersebut di samping para pengusaha dan investor.  

Tidak berlebihan kemudian jika publik menaruh kecurigaan pada DPR terhadap proses pembahasan Undang-Undang Ciptaker. Terlebih, undang-undang tersebut tidak memiliki relevansi dan urgensi untuk segera dituntaskan di tengah situasi pandemi saat ini. Dalam hal ini, lagi-lagi reputasi serta kepercayaan publik lah yang jadi taruhannya lantaran DPR dinilai hanya tunduk pada kepentingan elit tertentu.

Oligarki di Tubuh Demokrasi

Keberadaan DPR sebagai lembaga perwakilan idealnya dapat menjadi penyokong utama demokrasi dan asas kedaulatan rakyat. Hakikat DPR sebagai lembaga perwakilan juga diharapkan dapat menjadi penyerap serta penyalur utama dari adanya aspirasi rakyat. Namun, alih-alih menyuarakan kepentingan rakyat secara umum, DPR justru seringkali menampilkan dirinya sebagai pihak yang berada dalam pengaruh  kepentingan kelompok tertentu, yakni kelompok oligarki.

Oligarki sebagai model kemorosotan bentuk pemerintahan aristokrasi ini telah banyak berkembang dalam praktik penyelenggaraan pemerintahan di berbagai negara. Di Indonesia sendiri, penyelenggaraan demokrasi berjalan beriringan dengan suburnya praktik oligarki. Hal ini tidak dapat dipungkiri karena memang para oligark mengemban peran strategis dalam panggung perpolitikan Indonesia. Hal ini tidak pula terlepas dari kebutuhan uang sebagai ‘mesin penggerak’ politik. Sebagaimana dikatakan oleh Jese Unruh bahwa “money is the mother’s milk of politics,” yang berarti bahwa esensi uang sangat berarti dalam pelaksanaan politik, terlebih oleh partai politik selaku infratruktur politik.

Biaya politik yang tidak murah kemudian mengharuskan dilakukannya ‘pembagian kekuasaan’ secara tidak resmi antar partai politik dengan oligark. Afiliasi antara partai politik dan oligark diperlukan guna mengakomodir kepentingan masing-masing pihak. Dukungan para oligark ini kemudian diwujudkan dalam bentuk sumbangan dana kampanye pada partai politik tertentu dengan harapan partai politik yang mereka biayai mampu menciptakan produk hukum yang mengakomodir kepentingan mereka. Dan tentu saja, dalam hal ini partai politik akan menyanggupi hal tersebut demi melancarkan kampanye dan memuluskan jalan menuju parlemen.

Adanya kerja sama antar partai politik dan oligark ini kemudian melahirkan praktik money politics yang bersebrangan dengan ajaran demokrasi serta pemenuhan asas kedaulatan rakyat. Terlebih, jika mayoritas partai politik yang menduduki parlemen merupakan partai pendukung pemerintah, maka praktik jual-beli produk hukum antar oligark, partai politik, dan pemerintah akan semakin mudah dilakukan. Indonesia sendiri menganut sistem kepartaian multipartai dengan komposisi kursi parlemen yang didominiasi oleh 7 partai politik pendukung pemerintah dan 2 partai oposisi. Jumlah tersebut tentu sangat tidak proporsional untuk diterapkan pada negara demokrasi lantaran setiap kebijakan pemerintah tentu akan sangat mudah untuk disetujui oleh parlemen.

Mudahnya pembentukan Undang-Undang Cipta Kerja yang dapat dikatakan sebagai produk hasil kepentingan elite ini bahwasanya juga merupakan pengaruh dari penerapan sistem multipartai dalam sistem pemerintahan presidensial. Terlebih, dengan adanya penerapan presidential threshold yang mengharuskan terbentuknya koalisi partai politik guna menyusung calon presiden. Selain itu, kewenangan besar yang dimiliki Presiden dalam proses legislasi juga bahwasanya berpengaruh pada  lolosnya suatu produk hukum tertentu yang didasari oleh praktik politik kepentingan.

Sebagaimana diketahui, RUU Ciptaker merupakan RUU inisiatif pemerintah yang awalnya ditargetkan selesai dalam jangka waktu 100 hari. Mengacu pada praktik pengaturan konstitusi mengenai proses pembentukan perundang-undangan, Pasal 20 Ayat (2) UUD NRI 1945 menyatakan bahwa setiap RUU harus dibahas oleh DPR dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama, dan jika tidak, maka RUU tersebut tidak dapat diajukan lagi dalam masa persidangan DPR selanjutnya. 

Ketentuan pasal tersebut bahwasanya telah memberi wewenang besar kepada Presiden dalam proses pembentukan undang-undang (legislasi). Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, bahwa RUU Ciptaker ini merupakan RUU yang berasal dari usulan Presiden, dan dikarenakan mayoritas partai politik di parlemen merupakan partai pendukung pemerintah, maka tentu RUU ini akan mudah disetujui oleh DPR. Terkait dengan hal ini, Aren Lijphart menyatakan bahwa “….in other words, the logic of presidentialism is that implies very strong, perhaps even overbearing, president”, dalam hal ini berarti apabila partai mayoritas di parlemen merupakan partai pendukung Presiden, maka sistem presidensial mudah terperangkap ke arah pemerintahan otoriter. Apabila suatu pemerintahan sudah besifat otoriter, maka tindakan penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) akan menjadi praktik yang lazim, di mana produk hukum yang dihasilkan akan diarahkan sedemikian rupa guna mengakomodir kepentingan penguasa dan juga elite yang terlibat di dalamnya.

Keterlibatan oligarki dan praktik politik kepentingan bahwasanya memang tidak bisa dihapuskan 100%. Namun, hal tersebut dapat diminimalisisasi dengan menguatkan penyelenggaraan demokrasi melalui pembaharuan sistem. Setidaknya, terdapat tiga sistem utama yang penting untuk  direformasi, mulai dari sistem pengaturan kepartaian, praktik pada sistem pemerintahan, hingga proses legislasi.

Reformasi Sistem

Reformasi sistem yang perlu dilakukan pertama adalah reformasi terhadap sistem kepartaian. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, bahwa Indonesia menganut sistem multipartai yang mengakibatkan banyaknya partai yang dapat menduduki parlemen. Adapun saat ini, terdapat sembilan fraksi yang berhasil meraih kursi di parlemen. Sistem multipartai ini bahwasanya akan sulit diterapkan pada sistem pemerintahan presidensial dan akan membuat sistem presidensial terperangkap ke arah otoritarianisme apabila partai politik di parlemen merupakan partai pendukung pemerintah. Akibatnya, dapat kita lihat bahwa pembahasan RUU Ciptaker dapat berjalan dengan mulus dan disetujui oleh hampir seluruh fraksi di parlemen, meskipun akhirnya mendapat penolakan dari Fraksi Demokrat dan PKS. Ketimpangan antara jumlah partai pendukung pemerintah dan partai oposisi bahwasanya hanya akan membungkam suara oposisi. Untuk itu, diperlukan format ideal dalam sistem kepartaian guna mencegah lolosnya produk hukum yang lahir dari praktik politik kepentingan. 

Sebagai perbandingan, Indonesia dapat meniru sistem dwipartai yang dianut oleh Amerika, di mana hanya terdapat dua partai politik di parlemen yang masing-masing berperan sebagai partai pemerintah dan partai oposisi. Selain itu, proses pembahasan undang-undang di Amerika juga melibatkan Senat selaku kamar kedua guna menciptakan mekanisme double check dalam pembahasan suatu RUU. Adapun terkait dengan pemberlakuan prinsip check and balances, Presiden tidak dilibatkan dalam proses pembahasan RUU, namun memiliki veto dalam menyetujui atau menolak RUU.

Indonesia sendiri memiliki Dewan Perwakilan Daerah (DPD) sebagai kamar kedua yang menjadi representasi daerah dalam sistem perwakilan di Indonesia. Namun, selama ini DPD tidak memiliki fungsi dan peran yang sama kuatnya dengan DPR. Selama ini DPD hanya dilibatkan dalam proses pembahasan RUU yang berkaitan dengan daerah, tanpa memiliki kewenangan determinatif untuk menolak suatu pembahasan hingga pengesahan RUU, sehingga dalam hal ini proses pembahasan RUU hanya diwakili oleh representasi politik yang dengan mudahnya dapat meloloskan produk hukum yang mengarah pada praktik politik kepentingan. Untuk itu, diperlukan reformasi sistem kepartaian dengan mereduksi kewenangan legislasi Presiden serta memperkuat fungi DPD dalam proses pembentukan undang-undang. Selain itu, keterlibatan publik dalam proses pembentukan undang-undang tentu juga menjadi agenda utama yang harus diprioritaskan.

Terkait dengan sistem pengaturan kepartaian sendiri, diperlukan pula adanya reformasi di bidang penganggaran partai politik dan rekrutmen politik. Untuk diketahui, penganggaran dana partai politik di Indonesia saat ini berasal dari tiga sumber, yakni: iuran anggota, sumbangan, serta dana Anggaran Pendapatan Belanda Negara/Daerah (APBN/APBD). Adapun APBN/APBD sendiri diperuntukan bagi partai politik yang mendapat kursi di parlemen yang besarannya didasarkan pada persentase jumlah suara yang diperoleh partai tersebut. Sedangkan mengenai sumbangan, partai politik berhak untuk memperoleh sumbangan yang berasal dari perusahaan maupun perseorangan. Adapun mengenai besaran sumbangan yang berhak diterima partai politik, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu telah mengatur batasan sumbangan yang berasal dari perusahaan yakni sebesar 25 M dan  batas sumbangan perseorang sebesar 2,5 M. Jumlah yang sangat besar memang jika dibandingkan dengan sumbangan dana kampanye pada negara-negara lain. Selain itu, pengaturan terkait pelaporan dana kampanye di Indonesia selama ini masih hanya didasarkan pada kepatuhan dan bukan pada audit investigatif.

Mengacu pada praktik sumbangan dana kampanye di negara lain,  terdapat pengaturan mengenai kewajiban publikasi jumlah sumbangan yang diterima partai politik untuk kisaran tertentu. Sebagai contoh, di New South Wales, Australia terdapat pengaturan di mana jumlah sumbangan yang melebihi $1000 Australia wajib dipublikasikan kepada publik dengan mencantumkan identitas lengkap serta latar belakang penyumbang. Adapun di Amerika Serikat, setiap sumbangan dana kampanye yang diterima partai politik, wajib dilaporkan secara terbuka dan dapat diakses oleh publik.

Berdasarkan hal tersebut dapat kita lihat bahwa transparansi menjadi kunci utama dalam meminimalisir praktik politik kepentingan yang mengarah pada perilaku koruptif. Tidak dapat dipungkiri bahwa oligarki akan selalu berperan dalam pengambilan keputusan partai politik. Namun, pengaruh oligarki tersebut dapat diminimalisir dengan mengdepankan transparansi sebagai prinsip utama dalam penyelenggaraan pemerintahan.

Selain pembenahan sistem, kaderisasi partai politik yang berbasis etika politik juga harus dilakukan guna menciptakan individu-individu yang berintegritas tinggi dan menjunjung tinggi etika politik sebagai fondasi utama dalam penyelenggaraan pemerintahan. Dengan demikian, praktik politik kepentingan yang dikemas dalam suatu produk hukum tertentu dapat diminimalisir seoptimal mungkin guna mempertahankan marwah demokrasi di Indonesia.

Farida Azzahra merupakan Mahasiswa Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia yang aktif di beberapa komunitas sosial. Dapat ditemukan di instagram dengan nama pengguna @faridazzhr

Tentang Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *