UU Keamanan Nasional: Signifikansi Krisis Demokrasi Hong Kong

0

Demonstrasi anti UU Keamanan Nasional di Hong Kong. Foto: RTE.ie

Pada tahun 1984 adanya deklarasi kesepakatan yang terjadi antara Inggris dengan Tiongkok yang dikenal sebagai the Sino-British Joint Declaration menjadi tanda dari kesanggupan Inggris dalam menyerahkan wilayah Hong Kong kembali pada Tiongkok. Berdasarkan kesepakatan tersebut, penyerahan wilayah Hong Kong kepada Tiongkok secara resmi akan diserahkan pada tahun 1997 dengan syarat menjadikan Hong Kong sebagai Special Administrative Region (SAR) Tiongkok dengan prinsip “one country, two systems” yang memiliki tingkat otonomi yang tinggi dengan sistem sosial dan ekonomi yang tetap selama 50 tahun yang diimplementasikan dan ditegakkan pada konstitusi Hong Kong yang dikenal sebagai the Basic Law (Brooke-Holland, 2019). Deklarasi tersebut secara tidak langsung menandakan hak dan kebebasan aktivitas masyarakat Hong Kong tidak boleh diganggu selama kurun waktu tersebut. Akan tetapi, secara realitanya cukup banyak pelanggaran yang dilakukan Tiongkok terhadap konstitusi Hong Kong dan prinsip one country, two systems yang secara tidak langsung juga merusak deklarasi kesepakatan Tiongkok dengan Inggris.

Pasca tahun 1997, pemerintah Tiongkok telah melakukan berbagai penyimpangan dan pelanggaran terhadap konstitusi dan deklarasi kesepakatan Hong Kong dengan mengintervensi kebijakan domestik Hong Kong seperti pemilihan langsung terhadap dewan legislatif Hong Kong yang seharusnya diterapkan hak pilih secara universal menjadi dibatasi. Bahkan pada tahun 2004 pemerintah Hong Kong dibawah otoritas Tiongkok mengesampingkan pemilihan langsung pada kepala eksekutif dan beberapa dewan legislatif lainnya yang diganti dengan penunjukkan langsung dari pemerintah sentral Tiongkok (Ortman, 2016). Usaha-usaha yang dilakukan Tiongkok tidak hanya itu saja, melainkan cukup banyak penyimpangan lainnya terhadap konstitusi dan prinsip one country, two systems Hong Kong yang ditujukan untuk membatasi aktivitas demokrasi masyarakat Hong Kong dan semakin mengintegrasikan Hong Kong dengan hukum dan norma yang ada di Tiongkok. Akan tetapi, dari semua usaha yang dilakukan Tiongkok tersebut, usaha yang menjadi arti signifikan dalam membatasi demokrasi Hong Kong adalah penetapan new security law atau UU Keamanan Nasional baru Hong Kong yang baru saja dilakukan sebagai usaha Tiongkok dalam membatasi gerakan-gerakan demokrasi masyarakat Hong Kong.

Pada 30 Juni 2020 pemerintah Hong Kong dibawah otoritas pemerintah sentral Tiongkok memberlakukan UU Keamanan Nasional baru yang menjadi signifikansi perubahan terhadap masa depan aktivitas demokrasi masyarakat Hong Kong. Hukum keamanan nasional baru pada intinya menegaskan perlawanan terhadap segala praktik yang mengancam pemerintah Hong Kong dan sentral Tiongkok seperti praktik pemisahan diri, penghasutan,  subversi, terorisme, dan kolusi dengan pihak asing (Rudolf, 2020). Ditetapkannya hukum keamanan nasional baru berangkat dari keinginan Tiongkok untuk segera meredam segala bentuk perlawanan dan ketidakhormatan kepada Tiongkok terutama gerakan-gerakan reformasi demokrasi seperti gerakan protes yang sering kali terjadi di Hong Kong. Melalui penetapan hukum keamanan baru, berbagai aktivitas yang dinilai tidak menghormati pemerintahan sentral Tiongkok seperti halnya gerakan-gerakan protes akan dikenakan hukuman yang cukup berat. 

Penetapan hukum keamanan baru menjadi arti yang signifikan terhadap intervensi pemerintah Tiongkok yang semakin menggerus kebebasan dan demokrasi masyarakat Hong Kong. Signifikansi hukum keamanan baru dari awal penetapannya sudah dapat terlihat secara jelas pada kondisi demokrasi Hong Kong yang mana mendorong beberapa organisasi dan partai pro-demokrasi seperti partai Demosisto yang dimotori oleh aktivis prominen pro-demokrasi Hong Kong yaitu Joshua Wong untuk membubarkannya secara cepat. Respon tersebut menjadi arti ketakutan aktivis pro-demokrasi dan masyarakat Hong Kong terhadap undang-undang hukum keamanan baru yang mengikat aktivitas seluruh masyarakat Hong Kong dengan periode keaktifan mulai dari peringatan penyerahannya Hong Kong pada Tiongkok (Reuters Staff, 2020). Hal tersebut berarti bahwa pemerintah Hong Kong dapat mendakwa seseorang yang memiliki pelanggaran terhadap hukum bahkan sebelum ditetapkannya hukum keamanan baru. Oleh karena itu, hukum keamanan nasional menjadi ancaman yang signifikan bagi aktivitas demokrasi masyarakat Hong Kong.

Adapun implikasi dari penetapan hukum keamanan baru selanjutnya memiliki dampak yang lebih mengkhawatirkan bagi demokrasi Hong Kong. Pemerintah Hong Kong dibawah hukum keamanan baru telah melakukan berbagai penangkapan dan penahanan terhadap aktivis pro-demokrasi dan masyarakat Hong Kong. Penangkapan dan penjatuhan hukuman yang dilakukan pemerintah Hong Kong pada Joshua Wong, Agnes Chou, dan Ivan Lam sebagai aktivis prominen di Hong Kong dengan dakwaan pelanggaran terhadap hukum keamanan nasional atas aktivitasnya dalam mengorganisasikan pertemuan demonstrasi ilegal pada tahun 2019 lalu menjadi salah satu usaha signifikan pemerintah Hong Kong dalam membungkam gerakan pro-demokrasi masyarakat Hong Kong (Ramzy et al., 2020). Melalui hukum keamanan baru, otoritas pemerintah Hong Kong dibawah Tiongkok dapat dengan kuat dan sesukanya menahan masyarakat pro-demokrasi Hong Kong atas dasar aktivitasnya dahulu yang dirasa melanggar hukum baru sehingga hal tersebut dapat menjadi bentuk persekusi pemerintah Hong Kong sekaligus menjadi ancaman dan ketakutan besar masyarakat Hong Kong dalam memperjuangkan hak dan kebebasannya dalam bersuara.

Pemerintah Hong Kong dibawah hukum keamanan baru pada akhir Juli juga telah melakukan diskualifikasi dan melarang 12 aktivis pro-demokrasi Hong Kong yang menjadi kandidat legislasi dalam pemilihan umum Dewan Legislatif (LegCo) yang akan datang dengan dugaan melakukan perlawanan terhadap hukum tersebut dan berkolusi dengan pihak eksternal (Yu,  2020). Ditambah lagi, adanya pernyataan terkait penundaan pemilihan umum LegCo dikarenakan alasan prosedur kesehatan oleh Carrie Lam sebagai kepala eksekutif Hong Kong semakin melemahkan demokrasi Hong Kong dikarenakan komposisi LegCo yang semakin mengkhawatirkan dengan dominasi pro-Beijing. Pemerintah Hong Kong semakin memiliki otoritas yang kuat dengan hukum keamanan baru dan juga memiliki mandat dalam memberhentikan politisi dalam LegCo khususnya beberapa politisi pro-demokrasi yang sudah diberhentikan karena dianggap mengancam keamanan nasional. Adanya otoritas tersebut mendorong semua dewan legislasi pro-demokrasi dalam LegCo membentuk gerakan solidaritas untuk mengundurkan diri sebagai pembuat hukum (BBC, 2020). Keadaan tersebut semakin mempertajam eksistensi Tiongkok dan menjadi keadaan yang semakin mengkhawatirkan bagi demokrasi Hong Kong karena dalam LegCo sudah tidak ada lagi dewan legislasi pro-demokrasi Hong Kong yang menempati LegCo sebagai dewan pembentuk hukum Hong Kong.

Melihat dari implikasi-implikasi tersebut dapat dikatakan bahwa hukum keamanan nasional baru membawa perubahan dinamika yang paling signifikan terhadap demokrasi Hong Kong sejak diserahkannya Hong Kong kepada Tiongkok. Keadaan tersebut memungkinkan Hong Kong dan masyarakatnya menuju suatu kondisi krisis demokrasi jika Tiongkok secara terus-menerus menggerus demokrasi Hong Kong. Ditambah lagi, adanya penetapan hukum keamanan baru pada penempatan waktu yang tepat yaitu pada masa pandemi juga semakin membatasi berbagai aktivitas demokrasi masyarakat Hong Kong. Oleh karena itu, penulis melihat bahwa ditetapkannya hukum keamanan nasional bersamaan dengan penempatan waktu yang tepat dapat dikatakan menjadi ancaman paling besar dalam sejarah demokrasi Hong Kong dan jika dibiarkan saja tanpa perlawanan dapat menjadi awal signifikansi krisis dan akhir dari demokrasi Hong Kong. 

Referensi

BBC. (2020, 12 November). Hong Kong pro-democracy lawmakers resign after China ruling. BBC News.  www.bbc.com/news/world/asia.

Brooke-Holland, L. (2019). Hong Kong: The Joint Declaration. Hong Kong Government News, 1–10. www.commonslibrary.parliament.uk/research-briefings/cbp-8616/.

Ortman, S. (2016). “Political Development in Hong Kong: The Failure of Democratization”. Asian International Studies Review, Vol. 17, No.2, pp. 199-219.

Ramzy, A. et al. (2020, 30 November). China Targets Hong Kong’s Lawmakers as It Squelches Dissent. The New York Times. www.nytimes.com/2020/11/11/world/asia/hong-kong-protest-democracy.html. 

Reuters Staff. (2020, 31 Juli). One month in, the impact of national security law on Hong Kong. Reuters. www.reuters.com/article/us-hongkong-security-law-timeline-idUSKCN24W1J4.

Rudolf, M. (2020). The Hong Kong National Security Law: A Harbinger of China’s Emerging International Legal Discourse Power. Berlin: Stiftung Wissenschaft und Politik.

Yu, V. (2020, 30 Juli). Hong Kong: 12 pro-democracy candidates banned under security law. The Guardian. www.theguardian.com/world/2020/jul/29/hong-kong-student-activists-arrested-under-new-security-law.

Mizanul Amal merupakan mahasiswa Hubungan Internasional di Universitas Airlangga

Tentang Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *