Xi Jinping dan Konstruksi Konflik di Laut Tiongkok Selatan

0

Kedatangan Xi Jinping di COP21. Foto: Wikimedia Commons

Laut Tiongkok Selatan (Selanjutnya akan disebut LTS) adalah salah satu sengketa perbatasan yang sejak dulu tidak terselesaikan, sehingga terus memanas hingga kini. Berbagai upaya yang dilakukan oleh negara ikut serta dalam konflik tersebut yaitu Tiongkok, Taiwan dan negara ASEAN, seperti Malaysia, Vietnam, Filipina, dan Brunei Darussalam telah membawa kekacauan yang signifikan dalam konflik LTS. Terlebih, semenjak naiknya Presiden Xi Jinping, Tiongkok semakin menguatkan posisinya dalam LTS ini dan meningkatkan eskalasi konflik menjadi lebih tegang, karena kebijakan yang dikeluarkan oleh Xi Jinping memprioritaskan pada kepentingan nasional dan kebangkitan geopolitik di Asia. 

Perilaku Xi Jinping sebagai individu dapat dilihat melalui paradigma konstruktivisme dengan pendekatan melalui aspek ideasional yang Presiden Xi miliki dalam mengambil sikap kebijakan politik luar negeri Tiongkok, khususnya dalam konflik LTS ini. Secara singkat, konstruktivisme adalah paradigma yang melihat sebuah kejadian tidak hanya terjadi karena aspek materialisme semata, tetapi juga melihat dari aspek non material seperti aspek ideasional, ideologi, norma, identitas, dan nasionalisme. Konstruktivisme memandang manusia sebagai makhluk yang kompleks, yang tidak hanya tersusun atas aspek fisik tetapi juga non fisik yaitu nilai-nilai seperti norma, aturan, identitas, ideologi dan lain sebagainya.

Mengaitkannya dengan struktur internasional, individu juga diidentifikasi sebagai aktor internasional seperti negara dan organisasi internasional. Dengan kata lain, perilaku Xi Jinping dapat dihitung sebagai aktor internasional, yang mana dirinya adalah seorang Presiden dari negara. Kebijakannya yang dinilai sangat memprioritaskan kepentingan nasional telah memengaruhi struktur internasional, khususnya negara-negara yang tengah berkonflik. Salah satunya adalah narasi “Siap Perang” yang dibawa oleh Xi Jinping dalam konflik LTS ini (CNN Indonesia, 2020). Tindakan asertif yang dilakukan oleh Xi Jinping ini tentunya akan mengancam negara-negara yang bersengketa kedepannya, karena jalan akhir penyelesaian konflik kemungkinan yang akan menyisakan satu opsi yaitu perang antar negara.

Praktik kebijakan luar negeri Tiongkok dikontrol dan dibentuk oleh ide-ide Xi Jinping mengenai keamanan nasional dan internasional Tiongkok, yang mengesampingkan kontribusi ide dari pihak lain serta proses interaksi sosial. Xi sebagai Presiden Tiongkok mempunyai pengaruh yang penting terhadap proses politik luar negeri Tiongkok terbentuk. Ragam faktor yang membuat Xi mampu menyebarkan hal tersebut juga dimudahkan berkat sistem pemerintahan Tiongkok yang otoriter, serta sistem kepartaian yang  memiliki satu partai.

Dalam isu LTS, Presiden dan sekaligus pemimpin partai Xi Jinping memimpin Leading Small Group yang berfokus pada kepentingan maritim Tiongkok. Hal ini menjadikan arah kebijakan pemerintah seiring dengan arah kebijakan partai. Dalam hal ini, sebagai aktor dalam Hubungan Internasional, Xi Jinping bisa dengan mudah menyebarkan paham atau idenya melalui kebijakan luar negeri yang Xi laksanakan di negara yang ia pimpin, tanpa terganggu oleh proses legislatif karena dengan sistem tersebut, Xi dengan leluasa mengatur dan mengontrol kebijakannya sesuai dengan keinginannya. Terutama dalam kasus LTS, perihal semenjak era kepemimpinannya, Tiongkok berusaha menunjukkan dominasinya di lautan dan forum bilateral maupun multilateral, sekaligus ingin terus mengambil keuntungan atas sumber daya alam yang terkandung di LTS. 

Hal itu dipertegas lagi oleh Xi Jinping bahwa “integritas territorial tak bisa dikompromikan,” yang menegaskan dalam hal ini, Tiongkok tidak memenuhi harapan atau tuntutan dari luar untuk mengubah perilaku politik luar negerinya (Kompas , 2014). Terlihat dengan jelas dari penjelasan di atas bahwasanya aspek ideasional seperti ideologi atau paham yang dianut oleh Xi sebagai individu dapat memengaruhi keputusan politik luar negeri dari Tiongkok.

Sejak terpilihnya Xi Jinping sebagai Presiden Tiongkok, Xi telah menegaskan untuk menguatkan aspek kemaritiman dengan mengajak negara-negara tetangga seperti Kazakhstan dan Indonesia untuk membangun jalur sutra maritim baru. Kepada parlemen Indonesia, Xi mengatakan bahwa kebijakan luar negeri Tiongkok adalah mengajak negara-negara tetangga di Asia Tenggara untuk, “develop maritime partnership in a join effort to build Maritime Silk Road of the 21st Century” (ASEAN China Centre, 2013). Hal itu yang membuat Tiongkok memiliki kebutuhan untuk membangun proyek jalur sutra maritim yang memasukan LTS sebagai jalur pelayaran utama. Dengan kata lain, perilaku Xi sedari awal telah mengelaborasikan kepentingan material dan ideasional, ini terlihat dari bagaimana pandangan konstruktivisme yang meyakini signifikansi struktur ideasional dan material saling bergulat membentuk sistem internasional (Bilad, 2012). 

Kepentingan Tiongkok dalam kasus LTS bukan hanya faktor kepentingan materialisme semata, Tiongkok juga mempunyai faktor ideasional dalam memengaruhi sistem internasional yang dibawa oleh kebijakan luar negeri dari Presiden Xi Jinping. Perihal ini dapat dilihat melalui sikap ingin mendominasi yang dilakukan oleh Tiongkok melalui penempatan kebijakan luar negerinya (Hochul, 2017) . Tindakan asertif yang dilakukan Tiongkok yang dikomandoi oleh Xi Jinping dalam sengketa LTS mempunyai tujuan untuk mendapatkan dominasi secara regional. Terlihat jelas dengan tindakan Xi dalam kebijakan luar negeri yang dikeluarkan oleh Xi Jinping selama ini yang cocok dengan karakteristik hegemon dari Robert Gilpin, yaitu negara yang berperilaku sebagai hegemon memiliki tiga karakteristik (Gilpin, 1988). Xi mencoba untuk berperilaku merugikan negara lain dan mementingkan negaranya sendiri. Kedua, Xi selalu berusaha menginginkan tatanan tertentu demi mewujudkan kepentingan nasional dari negaranya. Ketiga, Xi berusaha meningkatkan kekuatan negaranya untuk menekan negara-negara kecil di sekitar wilayahnya. Ketiga faktor tersebut diupayakan dalam kebijakan Xi dalam beberapa insiden yang terjadi dalam sengketa LTS, seperti insiden penembakan kapal nelayan Vietnam pada tahun 2014. Lalu Tiongkok yang menolak adanya intervensi negara luar kawasan dalam isu LTS, dan meningkatkan kekuatan militer serta melakukan reklamasi 

Ide-ide tersebut tidak lepas dari sikap nasionalisme Presiden Xi Jinping yang yang mendasari ambisi dominasi regionalnya. Sikap asertif dan koersifnya dalam sengketa LTS ini menekankan pada sikap Xi Jinping yang nasionalis dan mengedepankan kepentingan Tiongkok semata dibanding hal eksternal lainnya. Dalam hal ini, aspek ideasional dan material digunakan oleh Xi untuk mencapai tujuannya dalam sengketa LTS ini dengan menjadi negara yang kuat dan berhasil menyebarkan paham nasionalismenya dalam sistem internasional. Hal ini menjadikannya untuk melindungi masyarakat Tiongkok sendiri dari aspek ekonomi, keamanan dan ancaman dari pihak eksternal. Oleh karena itu, Xi dengan kebijakan luar negerinya dalam menghadapi negara-negara yang bersengketa lebih agresif dan koersif ketimbang negara lain yang memilih jalur perundingan.

Dalam kebijakannya, Xi mengonstruksi dengan memberikan ancaman kepada pihak lain yang bersengketa melalui aspek nasionalisme, militer dan distribusi kekuatan yang dilakukan melalui narasi perang yang Xi Jinping kemukakan. Pada akhirnya, konstruktivisme yang dibawa oleh Xi Jinping dalam menangani sengketa LTS memberikan dua jawaban terhadap bagi Tiongkok maupun negara yang berkonflik dengan Tiongkok. Tiongkok memandang kekuatan regional bisa didapatkan melalui penyebaran ide-ide nasionalisme Tiongkok yang diwujudkan dengan membentuk hegemoni dalam sektor regional, untuk itu Tiongkok tidak segan mengeluarkan narasi militerisme untuk kepentingan nasional lainnya. Elaborasi Xi Jinping terhadap aspek ideasional dan material terbilang sukses dalam menciptakan perilaku kebijakan luar negerinya dalam sengketa LTS ini, karena saat ini Tiongkok masih terlihat dominan dalam sengketa tersebut.

Referensi

ASEAN China Centre. (2013, 3 Oktober). Speech by Chinese President Xi Jinping to Indonesian Parliament . ASEAN China Centre. http://www/asean-china-center.org/english/2013-10/0

Bilad, C. Z. (2012). Konstruktivisme Hubungan Internasional: Meretas Jalan Damai Perdebatan. Jurnal Universitas Muhammadiyah Malang, 12.

CNN Indonesia. (2020, 27 Mei). Xi Jinping Siap Perang untuk Laut China Selatan. CNN Indonesia. https://www.cnnindonesia.com/internasional/20200527195432-113-507442/xi-jinping-siap-perang-untuk-laut-china-selatan

Darmawan, A. B. (2018). Dinamika Isu Laut Tiongkok Selatan: Analisis Sumber-sumber Kebijakan Luar Negeri Tiongkok dalam Sengketa. Jurnal Universitas Jenderal Soedirman.

Gilpin, R. (1988). The Theory of Hegemonic War . The Journal of Interdisciplinary History .

Hochul, L. (2017). Power Politics Behind Transforming Geopolitics in East Asia. An Internasional Quaterly, 34(132).

Kompas . (2014, 4 Agustus). Nasionalisme di Laut Tiongkok. Kompas. https://nasional.kompas.com/read/2014/08/04/17015861/Nasionalisme.di.Laut.Tiongkok.Selatan?page=all

Pikri Ramadan Alamsyah merupakan mahasiswa Hubungan Internasional Universitas Paramadina

Tentang Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *