Zionisme Kanan dan Keengganan Israel untuk Mundur dari Tepi Barat

0

Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dalam sebuah acara privat. Foto: Wikimedia Commons

Pemerintah Israel sepertinya telah memutuskan untuk menunda aneksasi Tepi Barat (West Bank). Keputusan tersebut ditunjukan kepada masyarakat Israel dan komunitas internasional dengan disepakatinya penangguhan rencana aneksasi sebagai bagian dari proses penandatanganan Abraham Accord antara Israel, Uni Emirat Arab (UEA) dan Bahrain (Daily Sabah, 2020). Sebelumnya, Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, berencana untuk melangsungkan aneksasi yang sudah direncanakannya sejak rencana “Peace to Prosperity: A Vision to Improve the Lives of the Palestinian and Israeli People” dikemukan oleh Presiden Donald J. Trump. Perlu diketahui bahwa sebelum penangguhan tersebut disetujui oleh pemerintah Israel, terdapat berbagai pihak di dalam negeri, termasuk Menteri Pertahanan Israel, Benny Gantz, yang menyuarakan penentangannya terhadap rencana aneksasi Netanyahu (The Guardian, 2020). Menariknya, beberapa warga Israel yang tinggal di pemukiman ilegal Tepi Barat juga menolak rencana Netanyahu (The Times of Israel, 2020). Artinya, penangguhan aneksasi oleh pemerintah Israel bukanlah peristiwa yang terlepas dari kondisi perpolitikan dalam negerinya.

Untuk sementara waktu, pihak Palestina beserta komunitas internasional dapat mengistirahatkan bahu mereka sembari menghela napas setelah mengetahui bahwa pemerintah Israel tidak akan mewujudkan rencana aneksasi mereka. Seperti biasanya, dunia internasional telah bertempur dengan sengit untuk memperjuangkan hak-hak bangsa Palestina. Pada akhir bulan Juni lalu Komisaris Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Hak Asasi Manusia, Michelle Bachelet, mengatakan bahwa aneksasi Israel terhadap Tepi Barat (jika dilaksanakan) merupakan hal yang ilegal dan dapat memunculkan konsekuensi yang berbahaya bagi wilayah tersebut (Al Jazeera, 2020). Tetapi, bukan berarti dunia internasional dapat melunakkan upayanya setelah Israel memutuskan untuk menunda rencananya untuk menganeksasi Tepi Barat.

Perlu diingat bahwa persoalan aneksasi Tepi Barat dan pemukiman ilegal Israel di wilayah tersebut telah menjadi ajang perang saraf antara Israel dan komunitas internasional. Persoalan tersebut sudah berlangsung sejak masa kepemimpinan Perdana Menteri Menachem Begin (1977-1983) dan belum pernah diselesaikan secara komprehensif dan tuntas. Carut-marut yang terjadi disebabkan oleh, salah satunya, adalah pandangan yang dimiliki oleh sebagian masyarakat Israel terhadap wilayah Tepi Barat itu sendiri.

Sebelumnya, harus diketahui bahwa pandangan yang maksud tidaklah dimiliki oleh seluruh masyarakat Israel, sebab masyarakat Israel yang heterogen memiliki beragam pandangan. Pandangan ini terutama dipegang teguh oleh beberapa kelompok yang saat ini sedang menguasai pemerintahan Israel. Secara spesifik, penulis bermaksud untuk mengemukakan pandangan yang dimiliki oleh kelompok-kelompok yang menganut ideologi kanan. Ideologi kanan yang dimaksud juga dibagi ke dalam dua kelompok. Kedua ideologi tersebut adalah Zionisme Revisionis dan Zionisme Ortodoks. Keduanya memiliki ciri-ciri yang khas, tetapi sama-sama menganggap bahwa Tepi Barat merupakan wilayah yang penting bagi masyarakat dan Negara Israel. Pandangan tersebutlah—yang akan dijelaskan selanjutnya—yang mendasari keengganan Israel kontemporer untuk melepaskan keseluruhan Tepi Barat kepada Negara Palestina. 

Sejak Benjamin Netanyahu menjadi Perdana Menteri pada tahun 1996, partai-partai politik dan kelompok-kelompok sayap kanan mendominasi ruang perpolitikan dan pemerintahan di Israel. Dibanding kelompok-kelompok sayap kiri yang menganut ideologi Zionisme Kiri, kelompok-kelompok sayap kanan memiliki pandangan yang lebih keras perihal Tepi Barat. Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, mereka menganggap Tepi Barat merupakan wilayah yang penting bagi masyarakat dan Negara Israel. Pandangan ini diturunkan kepada mereka dari pendahulu mereka yang juga menganut ideologi Zionisme Revisionis. Zionisme Revisionis merupakan ideologi yang mengharuskan Israel untuk memperoleh kedudukan yang kuat di wilayah tersebut—secara militer. Dalam konteks ini, Tepi Barat dianggap penting karena wilayah tersebut merupakan bagian integral dari Negara Israel, yang tanpanya, Israel tidak dapat mempertahankan dirinya dari serangan negara lain melalui Lembah Sungai Yordania (Shelef, 2004). 

Pandangan tersebut merupakan cabang dari ideologi Zionisme yang berkembang setelah Ze’ev Jabotinsky—salah satu pendiri Zionisme Revisionis—berselisih dengan kepemimpinan Kongres Zionis Dunia perihal pendekatan yang digunakan untuk membangun komunitas Yahudi di Palestina (Shlaim, 1996). Berbeda dengan tokoh-tokoh Zionis lainnya, yang pada saat itu berpandangan pasifistik, Jabotinsky memiliki pandangan yang lebih militeristik (Shlaim, 1996). Baginya, komunitas Yahudi yang nantinya akan membentuk Negara Israel tidak dapat melindungi diri mereka sendiri jika tidak memiliki kemampuan militer yang mumpuni (Shlaim, 2012). Beliau tidak memercayai bahwa Negara Israel dapat hidup berdampingan dengan suatu negara yang penduduknya mayoritas berbangsa Arab jika Israel tidak mampu memperoleh supremasi militer. Bangsa Arab, baginya, harus dibuat sadar terhadap realita bahwa Israel telah memperoleh supremasi militer, sehingga prospek serangan oleh bangsa Arab yang nantinya hidup berdampingan dengan Israel dapat dikurangi—jika tidak dihilangkan sekaligus (Shlaim, 2012).

Dalam pandangan ideologi Zionisme Revisionis, Tepi Barat merupakan aset strategis yang harus dikuasai dan dikendalikan oleh Israel—baik secara parsial atau menyeluruh. Sebagai aset yang strategis, terdapat dua ancaman yang mungkin muncul jika Israel memutuskan untuk mundur dari wilayah-wilayah yang didudukinya saat ini di Tepi Barat. Kedua ancaman yang mungkin muncul sama-sama berhubungan dengan keamanan perbatasan Israel. Ancaman yang pertama adalah hilangnya daerah penyangga antara dirinya dan negara-negara Arab di Timur (Hacohen, 2019). Ancaman yang kedua adalah munculnya Negara Palestina yang keberadaannya menganggu keamanan Israel karena menyerupai entitas teror. Ancaman ini dikhawatirkan muncul apabila pemerintah Palestina di wilayah yang baru dikembalikan tidak mampu untuk membendung agitasi kelompok Islamis garis keras seperti Hamas (Hacohen, 2019). Ancaman yang kedua pernah menjelmakan dirinya ketika Israel memutuskan untuk mundur dari Jalur Gaza. 

Seperti yang telah disinggung sebelumnya, kelompok Zionis Revisionis bukanlah satu-satunya kelompok sayap kanan yang memandang penting keberadaan Israel di Tepi Barat. Selain kelompok-kelompok Zionis Revisionis, juga ada kelompok-kelompok Zionis Ortodoks, yang dapat dikatakan lebih religius daripada kelompok sebelumnya. Berbeda dengan kelompok Zionis Revisionis, mereka tidak beranggapan bahwa penguasaan Tepi Barat merupakan keharusan strategis, melainkan keharusan religius untuk menyambut kedatangan sang Mesiah—tentunya dalam bentuknya yang berbeda-beda sesuai dengan interpretasi masing-masing kelompok (Stanislawski, 2017). Menimbang relasinya yang erat dengan wilayah Tepi Barat, patut disinggung bahwa kelompok tersebut baru menjadi signifikan keberadaannya dalam ruang perpolitikan dan pemerintahan Israel setelah negara tersebut memenangi Perang Enam Hari pada tahun 1967. Ekspansi teritorial Israel ke Tepi Barat secara tidak langsung menghubungkan kembali masyarakatnya yang beragama Yahudi dengan tradisi biblikal mereka—Tepi Barat atau Yudea dan Samaria menjadi salah satu wilayah yang dianggap penting dalam agama Yahudi (Seliktar, 1983). Setelah intrusi Israel ke Tepi Barat, ikatan emosional yang dimiliki oleh masyarakat Israel yang beragama Yahudi dengan wilayah tersebut semakin menguat. 

Dalam perkembangannya, para Zionis Ortodoks mendirikan pemukiman-pemukiman ilegal di Tepi Barat. Awalnya, hal tersebut dilakukan untuk memastikan agar wilayah-wilayah yang sudah diperoleh Israel dalam perang-perang yang lampau tidak dikembalikan kepada lawan-lawannya (Newman, 2005). Mereka memercayai bahwa perolehan wilayah dari perang-perang di masa lampau merupakan pemberian Tuhan; oleh karena itu, mereka merasa bahwa pengembalian wilayah-wilayah tersebut kepada lawan-lawannya dalam rangka berkompromi dan berdamai merupakan suatu kesalahan (Newman, 2005). Keberadaan mereka di ruang perpolitikan dan pemerintahan di Israel diperkuat pada masa kepemimpinan Perdana Menteri Begin. Pada masa kepemimpinan Begin, terdapat banyak pemukiman yang diakui keabsahannya oleh pemerintahan Israel. Padahal, pemukiman-pemukiman tersebut dianggap ilegal oleh pemerintah Israel yang sebelumnya dikuasai oleh Partai Buruh (Demant, 1983). 

Pada saat itu, pemerintahan Israel dikuasai oleh koalisi yang terdiri atas Partai Likud dan Partai Nasionalis-Religius (NRP); partai yang kedua sering diasosiasikan dengan pergerakan Gush Emunim yang mengadvokasikan pembangunan pemukiman-pemukiman ilegal di Tepi Barat dan Jalur Gaza atas dasar agama (Demant, 1983). Kelompok-kelompok yang mengadvokasikan pembangunan pemukiman-pemukiman ilegal di Tepi Barat menikmati dukungan yang luas semasa pemerintahan Begin. Tidak hanya pada masa kepemimpinan Begin, mereka juga memperoleh dukungan yang sama, jika tidak lebih kuat, pada masa kepemimpinan Netanyahu (Shlaim, 2012). Dukungan yang diberikan oleh masing-masing pemerintahan yang dikuasai oleh partai-partai politik sayap kanan didasari kepada alasan religius maupun pragmatis—yaitu sekadar untuk memperoleh dukungan kelompok-kelompok sayap kanan. Apapun alasannya, tidak dapat dipungkiri bahwa berkat dukungan mereka, keberadaan pemukiman illegal menjadi fakta realita yang sulit untuk diatasi dalam rangka mewujudkan perdamaian Israel-Palestina. 

Menariknya, sama seperti agenda kelompok Zionis Revisionis sekuler yang menghasilkan permasalahan yang sekuler, agenda kelompok Zionis Ortodoks juga menghasilkan permasalahan yang sekuler. Pemukiman-pemukiman ilegal yang secara perlahan dibangun di wilayah-wilayah pendudukan telah berubah menjadi kota-kota kecil yang dihuni oleh ribuan warga Israel. Pada tahun 2019, ditemukan sebanyak 463,353 warga Israel yang bermukim di pemukiman-pemukiman ilegal Tepi Barat (The Times of Israel, 2020).  Dengan jumlah penduduk sebanyak itu, sulit bagi pemerintah Israel untuk mengusir atau mengevakuasi warganya dari Tepi Barat dalam rangka pengembalian wilayah ke Negara Palestina. Ketika Perdana Menteri Ariel Sharon memutuskan untuk membongkar pemukiman-pemukiman warga Israel di Jalur Gaza, beliau ditentang oleh pemukim-pemukim yang mengadakan demonstrasi seantero negeri (Financial Times, 2005). Gelombang-gelombang demonstrasi yang terjadi pada saat itu hampir berubah menjadi kerusuhan nasional—layaknya Indonesia pada tahun 1998 di akhir masa Orde Baru. 

Kompleksitas yang timbul dari dua pandangan ideologis yang sudah dijabarkan di atas membuat Israel enggan untuk mundur dari Tepi Barat. Keengganan tersebut menjadi penyebab terjadinya kemacetan dalam proses negosiasi perdamaian Israel-Palestina antara pemerintah Israel dan Palestina serta komunitas internasional. Merupakan suatu keputusan yang berat dan sulit untuk mundur dari Tepi Barat, yang pastinya akan mengubah nasib Israel dan ideologi Zionisme itu sendiri. Akan menjadi apa Zionisme Kanan tanpa Yudea dan Samaria? Bagi masyarakatnya, keputusan untuk mundur dari Tepi Barat merupakan suatu taruhan, yang hasilnya adalah keamanan atau ketidakamanan, dan keselamatan atau kutukan biblikal. Bagi pemimpinnya, keputusan tersebut merupakan taruhan politis, yang hasilnya adalah antara terpilih atau tidak terpilih.

DAFTAR PUSTAKA

Al Jazeera. (2020, 29 Juni). UN’s Michelle Bachelet says Israel’s annexation plans ‘illegal’. Al Jazeera. https://www.aljazeera.com/news/2020/06/michelle-bachelet-israel-annexation- plans-illegal-200629110256674.html 

Daily Sabah. (2020, 26 Agustus). Abraham Accords and further annexation of Palestine. Daily Sabah. https://www.dailysabah.com/opinion/op-ed/abraham-accords-and-further- annexation-of- palestine 

Demant, Peter. (1983). Israeli Settlement Policy Today. MERIP Reports. 116. 3-13.

Financial Times. (2005, 11 Januari). Sharon under fire as settlers protest over Gaza pull-out. Financial Times. https://www.ft.com/content/6d5db3b6-6369-11d9-bec2-00000e2511c8 

Hacohen, Gershon. (2019). The Jordan Valley: Israel’s Eastern Line of Defense. Begin-Sadat Center for Strategic Studies.

Newman, David. (2005). From Hitnachalut to Hitnatkut: The Impact of Gush Emunim and the Settlement Movement on Israeli Politics and Society. Israel Studies. 3(10) 192-224.

Seliktar, Ofira. (1983). The New Zionism. Foreign Policy. 51. 118-138.

Shelef, Nadav G. (2004). From “Both Banks of the Jordan” to the “Whole Land of Israel:” Ideological Change in Revisionist Zionism. Israel Studies. 1(9). 125-148.

Shlaim, Avi. (1996). Review: The Likud in Power: The Historiography of Revisionist Zionism. Israel Studies. 2(1). 278-293.

Shlaim, Avi. (2012). The Iron Wall Revisited. Journal of Palestine Studies. 2(41). 80-98.

The Guardian. (2020, 29 Juni). Netanyahu’s annexation plan in disarray as Gantz calls for delay. The Guardian. https://www.theguardian.com/world/2020/jun/29/netanyahus-annexation-plan-in- disarray-as-gantz-calls-for-delay

Times of Israel. (2020, 3 Juni). Settler mayor: If Netanyahu won’t reveal annexation plan, we’ll ‘blow it up’. Times of Israel. https://www.timesofisrael.com/settler-mayor-if-netanyahu- keeps-hiding-annexation-plan-well-blow-it-up/ 

Times of Israel. (2020, 28 Januari). West Bank settlements report rapid growth in 2019. Times of Israel. https://www.timesofisrael.com/west-bank-settlements-report-rapid-growth-in-2019/

Stanislawski, Michael. (2017). Zionism: A Very Short Introduction. Oxford University Press.

Tentang Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *