Bermain Api, Turki Membangun Reaktor Nuklir Pertama

0

Ilustrasi Putin dan Erdogan. Foto: Mikhail Klimentyev/Reuters

Perwakilan Turki dan Rusia baru saja memulai konstruksi reaktor nuklir ketiga dari keempat reaktor yang berlokasi di Akkuyu direncanakan selesai pada tahun 2026. Proyek pembangunan empat reaktor nuklir Akkuyu ini disubsidi secara besar oleh Rusia. 

Turki menyatakan bahwa proyek reaktor nuklir Akkuyu ini akan digunakan sebagai penghasil energi alternatif yang akan menaikkan status Turki ke “Liga Negara Berenergi Nuklir”.

Fasilitas itu akan menyuplai 35 miliar kilowatt/jam (kWh) listrik per tahun, kira-kira 10 persen kebutuhan listrik Turki yang diperkirakan akan digunakan selama 50 tahun.

Meski narasi yang dibangun Turki adalah ingin menghasilkan energi secara “independen”, pembangunan reaktor nuklir ini dimungkinkan karena dukungan penuh dari Rusia.

Proyek bernilai US$ 20 miliar tersebut disubsidi 93 persen oleh BUMN Rusia, Rosatom. Hal tersebut berarti Rusia memiliki kuasa besar dalam pembangunan dan pengontrolan fasilitas ini. Turki sendiri berperan sebagai pemilik lisensi dan operatornya.

Direktur Eksekutif Nonproliferation Policy Education Center (NPEC), Henry D. Sokolski, heran atas pilihan Turki untuk membangun fasilitas nuklir tersebut. Padahal, pilihan energi nuklir terbilang mahal dan dapat membuat ketergantungan energi pada Rusia.

Dengan pembangunan reaktor nuklir Akkuyu ini, Turki menjadi negara keempat di Timur Tengah yang memiliki nuklir. Sebelumnya, Israel adalah negara pertama yang memiliki energi nuklir, dan diduga kuat telah memiliki senjata nuklir, meski tidak mengakuinya secara langsung. Setelah Israel, Iran dan Uni Emirat Arab menyusul dalam membuat reaktor nuklirnya masing-masing.

Masalah Nuklir Turki di Timur Tengah

Meski berada di bawah pengawasan International Atomic Energy Agency (IAEA), pembuatan reaktor Akkuyu ini bukan tanpa konsekuensi. Selama ini, perolehan energi nuklir oleh suatu negara di Timur Tengah (Timteng) selalu menimbulkan kegaduhan.

Kepemilikan tenaga nuklir di kawasan yang rawan konflik seperti Timteng menyimpan potensi konflik laten yang berbahaya. Satu negara yang memiliki nuklir bisa memicu perlombaan nuklir di kawasan. 

Contoh nyata dari kasus ini adalah Iran yang terdorong untuk memiliki senjata nuklir dengan dugaan senjata nuklir Israel. Hal ini diperparah dengan keluarnya Amerika Serikat dari JCPOA yang membuat nuklir Iran tidak terawasi. Sementara itu, negara lain seperti Libya, Irak, dan Saudi Arabia, pernah menunjukkan ketertarikan dan mencoba memperoleh senjata nuklirnya sendiri.

Sokolski juga memberi peringatan akan bahayanya posisi geopolitik Turki sekarang dan menyatakan kemungkinan Akkuyu menjadi target serangan negara tetangga Turki. Hal tersebut diperparah dengan lokasi Akkuyu yang rentan gempa dan dekat dengan laut.

Belum lagi Turki baru-baru ini membentuk kerja sama militer dengan Kazakhstan, yakni negara penyedia 35 persen uranium dunia. Kerja sama Turki dan Pakistan juga dicurigai bertujuan untuk memproduksi uranium yang diperkaya (enriched) diluar batas wajar untuk dijadikan senjata nuklir.

Turki membantah tuduhan ini dengan menyatakan loyalitas mereka pada Code of Conduct yang melarang proliferasi misil dan senjata perang lainnya.  Selain diawasi IAEA, Turki sendiri adalah penandatangan perjanjian seperti Treaty on Non-Proliferation of Nuclear Weapons, Comprehensive Test Ban Treaty (CTBT), Chemical Weapons Convention (CWC), dan Biological Weapons Convention (BWC).

Untuk sekarang, Erdogan menyatakan bahwa ini hanyalah “proyek persahabatan” Turki-Rusia dan tidak lebih dari itu. Namun, seluruh mata dunia akan terus tertuju ke proyek ini. Kecurigaan ini diharapkan tidak akan melahirkan masalah baru di masa depan.

Tentang Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *