Cerminan Wajah Mafia Pendidikan di Indonesia

0

Unjuk rasa yang dilakukan oleh Keluarga Mahasiswa Tangerang Selatan (KMTS) di depan kantor Pemkot Tangerang Selatan mengenai pungutan liar. Foto: Tribun Jakarta

Pendidikan di Indonesia dipenuhi oleh 1001 permasalahan mulai dari hulu (paradigma dan arah pendidikan) hingga ke hilir (sistem, kurikulum, dan implementasi). Di hilir, Agus Suwignyo menyebutkan bahwa terdapat beberapa tantangan pendidikan Indonesia, seperti rendahnya pemerataan akses dan lemahnya kualitas pendidikan. Sedangkan dalam konteks hulu, ia menyampaikan bahwa fenomena hibridisasi ideologi–proses setengah matang penamaan ideologi tertentu secara eksklusif–yang ditandai dengan hadirnya ide-ide ekstrimisme merupakan salah satu biang perkara.

Padahal, pendidikan merupakan hal esensial bagi kehidupan manusia dan bermasyarakat. Tokoh pendidikan ikonik seperti Ki Hajar Dewantara misalnya, menyampaikan bahwa pendidikan adalah kunci utama untuk memajukan bangsa. Dengan pendidikan, seseorang dapat manusia seutuhnya, ditandai dengan dirinya yang merdeka dan bahagia. Sementara tokoh lain seperti Ki Darmaningtyas menyatakan bahwa pendidikan seharusnya menjadikan manusia mandiri dan percaya diri. Selain itu, Karlina Supelli juga menerangkan bahwa seseorang yang berpendidikan seharusnya belajar bukan hanya untuk kepentingan diri pribadi, melainkan juga untuk kepentingan yang lebih besar dari dirinya sendiri. Manusia yang berpendidikan digambarkan dengan mereka yang bermimpi, berimajinasi, dan berproses untuk kepentingan komunal yang lebih besar, untuk kemanusiaan.

Tantangan Pendidikan di Indonesia

Meskipun Indonesia telah berkomitmen untuk mencerdaskan kehidupan bangsa yang tercerminkan dalam pembukaan UUD serta pasal-pasal yang mengaturnya, apa yang dicita-citakan sangat jauh dari realita yang ada. Dalam konteks persoalan hilir, implementasi pendidikan di Indonesia hanya dipenuhi dengan wacana-wacana neoliberalisme yang menafikkan sisi humanis dan hanya berfokus memproduksi masyarakat yang siap kerja. Implementasi pendidikan yang kurang tepat disampaikan oleh Dosen Ilmu Komunikasi UGM Mashita yang berpendapat bahwa kemampuan berpikir kritis-analitis belum secara efektif dimplementasikan di Indonesia. Justru, proses pendidikan saat ini malah mematikan sikap emansipatoris dan daya kritis pelajar.

Di lain sisi, orientasi yang mengacu ke sistem pendidikan internasional yakni GERM (Global Educational Reform Movement) belum selaras dengan sistem pendidikan Indonesia saat ini. Pada prinsip-prinsip GERM misalnya, seperti kompetisi, kebebasan memilih, dan akuntabilitas sepertinya belum sepenuhnya selaras dengan prinsip-prinsip di kurikulum merdeka yang menekankan aspek pluralisme, demokrasi, dan kompetisi.

Melihat permasalahan dan urgensi pendidikan, lantas, apa yang menyebabkan masalah-masalah tersebut tidak hilang dan terus menghantui pendidikan di level hulu maupun hilir? Fischer (2000) menyatakan bahwa masalah pendidikan menjadi laten karena terdapat “pilar” yang menyokong sehingga masalah yang ada sukar untuk diselesaikan. Dalam tulisan ini, penulis berargumen bahwa mafia pendidikan adalah pilar yang menyokong latennya masalah pendidikan di Indonesia.

Apa Itu Mafia Pendidikan?

Sebetulnya, tidak ada definisi khusus dari mafia pendidikan. Dalam KBBI, mafia sendiri didefinisikan sebagai “perkumpulan rahasia yang bergerak di bidang kejahatan (kriminal)”. Literatur lain pun mendefinisikan mafia dalam perkara perdata ataupun pidana yang keduanya berfokus pada isu human security dan tidak pada konteks pendidikan.

Untuk mendukung kontekstualisasi pembahasan dalam tulisan, penulis mendefinisikan mafia pendidikan sebagai sekumpulan elit politik di sektor pendidikan yang beroperasi secara tersembunyi (omertà atau diam) dan terorganisasi (organized) di pusat maupun di daerah yang diwarnai oleh tindak pemerasan berupa pungutan liar (pungli), penghambatan inovasi-inovasi, hingga KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme). Elit-elit mafia ini bergerak di bawah naungan institusi-institusi pendidikan seperti Badan Kepegawaian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BKPSDM) atau dalam instansi yang lebih kecil lagi.

Walaupun anggaran yang digelontorkan pemerintah Indonesia untuk sektor pendidikan pada tahun 2023 sebesar Rp612,2 triliun, paling besar sepanjang Indonesia berdiri. Jumlah dana yang besar dan selalu meningkat tiap tahun seharusnya cukup untuk meningkatkan konektivitas pendidikan mulai dari arah pendidikan yang bersifat ide-ide hingga implementasi. Namun, alokasi anggaran ini belum juga menghasilkan sistem pendidikan yang berkualitas. Tentu, hal ini dapat diakibatkan oleh keberadaan mafia pendidikan yang juga terindikasi tumbuh dan berkembang di dalam birokrasi pemerintahan daerah di Indonesia, sehingga kualitas pendidikan sulit tercapai.

Ditambah dengan fakta bahwa sektor pendidikan menjadi salah satu dari 5 sektor dengan kasus korupsi terbanyak dari tahun 2016-2021, sebanyak 240 kasus terkait dana Bantuan Operasional Pendidikan (BOP) menunjukan adanya indikasi mafia yang dimaksud. Lemahnya alokasi anggaran, ketidakselarasan prinsip, dan maraknya tindak korupsi menandakan inefisiensi akibat pembajakan oleh mafia pendidikan yang tidak lekang oleh waktu.

Wajah Mafia Pendidikan Indonesia: Warisan Historis

Kasus pelaporan pungli oleh Husein ketika mengikuti Pelatihan Dasar Calon Pegawai Negeri Sipil pada Oktober 2021 adalah contoh kasus yang mencerminkan wajah-wajah mafia pendidikan di Indonesia. Husein pada saat itu merupakan guru seni muda di SMP Negeri 2 Pangandaran dan terkenal sebagai guru favorit di kalangan siswa/i. Alih-alih pelaporan pungli yang Husein cantumkan mendapat dukungan dan apresiasi, Husein mengaku malah menerima tekanan dan intimidasi oleh 12 pegawai pemerintah Kabupaten Pangandaran untuk mencabut laporannya. Bahkan, Husein sempat dikatakan sebagai orang yang “tidak sehat” semenjak kasus ini mencuat. Dapat dikatakan bahwa kasus Husein hanyalah satu di antara banyaknya cerminan mafia pendidikan di Indonesia yang berakar pada warisan historis kolonial Belanda dan Orde Baru.

Jika penulis dapat menyebutkan akar tumbuhnya mafia pendidikan di Indonesia, kolonialisme Belanda dan pemerintah Orde Baru menjadi pelaku utamanya. Kolonialisme Belanda di Indonesia melahirkan kebijakan politik etis yang salah satu manifestasinya pada pendidikan bagi kaum pribumi. Akan tetapi, sekolah dibangun hanya untuk memenuhi kepentingan penjajahan Belanda saja. Pada Kongres ke-3 Pendidikan Hindia-Belanda Weltevreden tahun 1924 yang diwarnai oleh dua pertanyaan besar, yaitu “Apa yang dapat dilakukan untuk mendidik masyarakat menjadi warga negara yang baik?” dan “Upaya apa yang dapat dilakukan demi meningkatkan mutu pendidikan (opvoedkundige waarde) bagi pribumi?” seolah-olah menunjukan intensi Belanda yang mendidik hanya untuk memperbanyak pekerja kantoran saja.

Beberapa sekolah seperti sekolah calon pegawai (Opleidingsschool voor indlansch ambtenaren-OSVIA), sekolah kerajinan rumah tangga, balai latihan (ambachtsleergang), dan sekolah teknik (ambachschool), sekolah rakyat (volkschool), sekolah desa (desaschool) hanya dimaksudkan untuk memproduksi kelas sosial yang telah ada di masyarakat dan pastinya penuh dengan nilai-nilai feodalisme. Budaya feodalisme ini yang kemudian mengakar di era Orde Baru. Warisan historis berupa budaya feodal terwariskan di sistem pendidikan Orde Baru yang pada akhirnya memunculkan bibit-bibit mafia pendidikan. Hal tersebut ditandai dari ketatnya pengawasan dari pemerintah pusat dan rendahnya akuntabilitas di level daerah. Lingkungan birokrasi yang otoriter menyebabkan gembong mafia dapat tumbuh dengan subur. Para elit merasa diuntungkan dengan kuasa yang dimilikinya sehingga tindak-tindak “kriminal” dapat dijalankan dengan mudah.

Sebuah Refleksi

Hal yang dialami oleh Husein menunjukan adanya indikasi yang nyata dari mafia pendidikan yang telah tumbuh subur. Aneh ketika menyaksikan tindakan pemberantasan pungli malah dinilai sebagai suatu hal yang salah. Di titik ini, mafia pendidikan telah berhasil mengakar dan bertindak secara sembunyi-sembunyi untuk menutupi tindak kriminal yang mereka jalankan. KKN terkesan menjadi tindakan yang normal dan arah pendidikan digeser oleh kepentingan pribadi mereka melalui kekuasaan birokrasi.

Meskipun sudah terjadi pergeseran paradigma dari sistem sekolah negara di era Orde Baru yang kental akan budaya feodal warisan Belanda ke sistem sekolah masyarakat di era Reformasi, mafia-mafia pendidikan tetap saja mengakar dengan subur. Akibatnya, masalah-masalah laten di dunia pendidikan menjadi sukar untuk di atasi dan urgensi pendidikan menjadi lambat ditanggapi.

Falah Mar’ie Amanullah merupakan Mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional di Universitas Gadjah Mada. Dapat ditemukan di Instagram dengan nama pengguna @flh.ma

Tentang Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *