Iliustrasi Penambangan Minyak Bumi, Sumber: Pixabay.com

Bagaimanapun juga, olahraga merupakan kegiatan yang menjunjung tinggi kebugaran dan kesehatan serta peran positif terhadap lingkungan. Namun ternyata, dari berbagai peraturan serta etika yang dijabarkan di dalamnya, terdapat berbagai celah sehingga banyak perusahaan besar yang bergerak di bidang energi dapat terlibat secara langsung di dalamnya. Akibatnya, sepakbola sekarang tidak lagi “sebersih” sepakbola dahulu.

Pada September 2018, Liga Rusia menyiarkan pertandingan antara Zenit St Petersburg melawan FC Orenburg, dengan kemenangan di tangan Zenit St Petersburg. Sekilas bagi para penggiat sepakbola, dalam pertandingan tersebut tidak terjadi hal yang begitu signifikan. Namun bagi aktivis lingkungan, pertandingan tersebut justru sangat melukai hati para pemerhati pemanasan global. Di negara Rusia sendiri pertandingan ini dikenal sebagai Gazprom Derby. Lalu, ada apa dengan Gazprom sendiri dan mengapa ia begitu rela menggelontorkan dana sedemikian banyaknya untuk “sepakbola”?

Sebelum kita membahas lebih jauh, ada baiknya kita cari tahu terlebih dahulu apa itu Gazprom. Rupanya, Gazprom merupakan perusahaan gas terbesar di Rusia yang dikelola oleh pemerintah Rusia atau dengan kata lain, badan usaha milik negara Rusia. Bahkan, di benua Eropa, Gazprom telah menancapkan kukunya di seluruh pernak pernik sepakbola Benua Biru.

Rusia sendiri memiliki cadangan gas bumi terbesar di dunia dan cadangan gas tersebut kebanyakan berada di wilayah minyak Arktika yang dikuasai oleh Gazprom. Gazprom sendiri diketuai oleh Alexey Miller yang juga merupakan teman dekat dari Vladimir Putin. Pada tahun 2015, Pemerintah Rusia memiliki 50,23% saham dari Gazprom yang berarti Gazprom turut menyumbang anggaran pembelanjaan negara Rusia sebanyak 40%.

Pada tahun 2017 tercatat negara-negara yang terletak di Eropa Timur seperti Finlandia, Estonia, Latvia, Lithuania, Belarus, Polandia, Republik Ceko, dan Hungaria menggunakan jasa Gazprom dalam jumlah yang besar untuk menyalurkan minyak dan gas dari Arktika menuju negara masing-masing.

Hal ini sangat berbanding terbalik dengan wilayah Eropa Barat yang “hanya” menggunakan sekitar 20% pasokan minyak untuk negaranya melalui jasa Gazprom. Namun pada tahun 1999, Kanselir Jerman, Gerhard Schroder, mengeluarkan kebijakan untuk meningkatkan sumber daya berbasis gas dan minyak bumi. Gayung bersambut kembali bagi Gazprom. Gazprom selaku penyedia jasa sekaligus pemegang kilang minyak Arktika mendapatkan proyek besar-besaran untuk dapat mengekspansi bisnis yang tadinya hanya di Eropa Timur untuk dapat menjalar ke bagian Eropa Barat.

Namun, rencana tersebut tidak semudah membalikan telapak tangan, masalah selanjutnya bagi Gazprom ialah biaya transportasi pipa yang tidak murah untuk dapat menyalurkan gas dan minyak bumi dari Rusia menuju Jerman. Belum lagi ditambah dengan hubungan antara Rusia dan Ukraina yang sedang memanas. Konflik antara Rusia dan Ukraina yang meledak di Donetsk pada tahun 2004 menjadi kendala yang cukup merepotkan bagi Gazprom. Bahkan hingga saat ini, Ukraina masih membandrol harga yang cukup tinggi bagi Gazprom untuk dapat menyalurkan minyak bumi, yakni sekitar 2 juta Dolar Amerika setiap tahunnya.

Namun, Gazprom memiliki rencana lain dalam menyalurkan minyak ke Eropa Barat. Pada tahun 2005, Gazprom memulai rencananya dengan membangun pipa bawah laut dari laut Baltik menuju bagian utara Jerman. Rancangan biaya pun sudah final di antara Jerman dengan Rusia. Hal ini terlihat manakala Kanselir Jerman Gerhard Schroder dan Presiden Rusia Vladimir Putin terlihat beberapa kali mengadakan pertemuan. Dan beberapa minggu sebelum pemilihan umum Kanselir Jerman, Schroder menandatangani surat kerjasama terkait pipa bawah laut yang dikenal dengan proyek Nord Stream. Walaupun pada pemilihan Kanselir Jerman di tahun 2005 Schroder mengalami kekalahan, 2 bulan kemudian Schroder diangkat menjadi jajaran komite Gazprom. Tentu saja hal ini menjadi sebuah kasus dan skandal besar bagi Jerman dan Gazprom.

Namun, narasi cerita itu berubah ketika Gazprom menyelamatkan sebuah klub sepakbola dari kebrangkutan asal Gelsenkirchen Jerman, Schalke. Pemilihan Schalke sebagai tim yang diselamatkan Gazprom ini tentu saja bukan tanpa alasan. Kota Gelsenkirchen yang berada di lembah Ruhr merupakan sebuah kota industri minyak terbesar di Jerman dan sangat berdekatan dengan kota Rehden yang juga merupakan sebuah pangkalan minyak bagi kota-kota lain di Eropa dan Jerman sekaligus gudang minyak terbesar di Eropa Barat. Sedangkan di Rusia sendiri, Gazprom berhasil mengakuisisi sebuah tim yang berbasis di Zenit yang juga merupakan keran minyak untuk negara-negara Eropa lainnya. Dan setelah 2 tahun, Zenit St. Petersburg berhasil menjuarai kompetisi domestik Rusia dan membeli pemain top Eropa dengan harga tinggi.

Tidak hanya itu, Zenit St. Petersburg pun menjadi ajang promosi Gazprom dengan melakukan iklan bermain bola di kilang minyak yang berada di tengah laut. Pada tahun 2007, Schalke mengeluarkan jersey baru mereka dengan logo Gazprom sebagai logo utama. Kemudian, 4 tahun berikutnya Schalke yang menjuarai Copa Jerman sekaligus menjadi hadiah manis kedua setelah sebelumnya Angela Merkel, Gerhard Schroder, Mark Rutte, dan Francois Fillon secara resmi membuka keran Nord Stream yang memompa gas untuk negara Eropa Barat lainnya. 

Greenpeace selaku NGO yang bergerak di bidang lingkungan pun tidak tinggal diam. Aksi protes yang dilakukan dengan menebar spanduk besar-besaran selama pertandingan pun dilakukan ketika Schalke bertamu ke kandang F.C. Basel. Namun apa mau dikata, Gazprom justru kembali dengan mudahnya untuk memperpanjang kontrak sponsor dengan Schalke.

Secara tidak langsung Gazprom pun turut berkontribusi besar terhadap sepakbola Eropa. Investasi dengan nilai besar yang dilakukan Gazprom terhadap sepakbola sangat kecil apabila dilihat dari sudut pandang penyaluran minyak bagi negara Eropa lainnya. Jika memang Karl Marx masih memiliki umur sampai saat ini maka kata yang tepat bukanlah candu terhadap agama melainkan candu terhadap sepakbola.

Muhammad Alif Ramadhani adalah mahasiswa Universitas Islam Negeri di Surakarta. Alif mengambil jurusan Sejarah Kebudayaan Islam dan menyukai isu-isu Politik Luar Negeri. Dapat dihubungi melalui @mhd_alf16 di Instagram dan Twitter.

Tentang Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *