Ketergantungan Impor Kedelai: Signifikansi Instrumen Kebijakan Perdagangan

0

Sumber: Pixabay.

Sebagai negara berkembang, Indonesia masih mengandalkan berbagai upaya dalam memenuhi komoditas pasar dengan melakukan impor. Distribusi barang impor di domestik pun mengikuti arus perkembangan pasar global. Hal ini menjadi suatu hal yang layak dipertimbangkan oleh pemangku kebijakan, karena dengan begitu, harga-harga barang impor di pasar domestik pun akan melonjak naik. Kegiatan ekspor maupun impor memberikan dampak yang sangat berpengaruh terhadap produk domestik bruto di suatu negara dan perkembangan industrialisasi. 

Pada awal Januari 2021, pasar nasional dihebohkan dengan kelangkaan tempe dan tahu akibat lonjakan harga kedelai impor yang tinggi. Para perajin tahu dan tempe lebih memilih untuk membeli kedelai hasil impor dibandingkan kedelai hasil petani lokal. Hal ini karena kedelai yang dihasilkan negara subtropis memiliki ukuran yang lebih besar dan kualitas yang lebih bagus dibanding kedelai dari petani lokal Indonesia yang beriklim tropis. Namun, karena minat dari perajin tahu dan tempe yang minim, kini petani lokal lebih memilih untuk menanam komoditas lain seperti jagung atau padi. Faktor lain yang membuat angka impor membengkak adalah ketidakseimbangan produksi kedelai lokal dan kebutuhan konsumsi kedelai dalam skala nasional.

Menurut Kementerian Perdagangan, lonjakan harga kedelai dapat dilihat dari harganya di pasar internasional yang meningkat 9 persen dari kisaran US$11,92 menjadi US$12,95 per gantang. Harga kedelai impor naik menjadi Rp 9.300 per kilogram yang sebelumnya berada di angka Rp9.000 per kilogram (Rika, 2021). Pada bulan Januari-Oktober 2020, Amerika Serikat menjadi negara yang paling banyak mengimpor kedelainya ke Indonesia dengan jumlah 1,92 juta ton dengan nilai transaksi US$ 762 juta atau sekitar Rp 10,6 triliun. Masalah pengimporan kedelai sudah lama menjadi perbincangan kuota impor kedelai dari luar negeri. Indonesia sudah menjadi negara pengimpor kedelai terbesar dengan jumlah di atas 1 juta ton per tahunnya. Angka tersebut berbanding terbalik dengan produksi domestik kedelai yang tidak mencapai 1 juta ton dalam setahun.

Kegiatan impor bahan baku berkaitan erat dengan kondisi pasar internasional. Indonesia pernah membuat kebijakan penurunan tarif bea masuk kedelai pada tahun 2008 dengan maksud mengurangi tarif produksi makanan dengan berbahan dasar kedelai. Hal itu dilakukan pemerintah untuk menyesuaikan diri dengan pasar global dan menghadapi fluktuasi harga pangan.

Indonesia sebagai negara pengimpor dapat memberlakukan kebijakan kuota impor dalam meningkatkan dan melindungi industri domestik. Kebijakan kuota impor menunjukkan adanya batasan jumlah barang yang dapat diimpor ke suatu negara. Negara akan memberikan persyaratan bagi industri yang ingin masuk ke suatu negara dengan pemberlakuan kuota. Dampak dari pemberlakuan kuota impor ini adalah kenaikan harga barang impor yang serupa dengan tarif bea cukai (Demir, 2017). GATT atau General Agreement on Tariffs and Trade menyebutkan bahwa pemberlakuan kuota impor diperbolehkan, khususnya bagi negara-negara berkembang agar mencegah arus keluar modal dalam jumlah besar.

Pemberlakuan kuota impor sebagai instrumen perdagangan internasional berarti pembatasan jumlah produk. Dengan pemberlakuan kuota impor, maka akan ada peningkatan harga dan produksi domestik. Namun, masyarakat internasional menganggap bahwa kuota impor akan menghambat perdagangan bebas karena sifat pembatasannya yang jauh lebih kuat dibandingkan pemberlakuan tarif  impor. Oleh karena itu, pemerintah lebih sering memilih kebijakan tarif bea masuk impor bahan pangan. Tarif impor akan berpengaruh terhadap tingkat harga kedelai. Untuk mensiasati peningkatan harga kedelai di tingkat konsumen, maka pemerintah menghapus tarif impor demi meredam fluktuasi harga di tingkat domestik. Harga kedelai lokal pada kisaran tahun 2013 mengalami kenaikan, pemerintah Indonesia kemudian membuat kebijakan tarif bea masuk hingga 0% pada tahun 2014. Pada tahun 2013, tarif bea masuk  sebesar 5% sehingga volume impor kedelai melonjak menjadi 1.785.326.993 ton. Peningkatan volume impor kedelai semakin besar seiring dengan diberlakukannya tarif bea masuk 0%.

Dengan kebijakan pemerintah yang menghapus tarif bea impor kedelai untuk menghindari fluktuasi harga di tingkat konsumen dan produsen tahu tempe, maka hal tersebut secara tidak langsung akan mengikis peran dari petani lokal. Konsumen dan produsen tahu tempe lebih senang untuk mendapatkan kedelai impor yang jauh lebih murah sehingga hal tersebut membuat petani untuk mengalihkan lahan mereka ke komoditas yang lebih menguntungkan seperti padi dan jagung. Dengan kondisi pembebasan tarif bea masuk, maka hal tersebut akan menguntungkan konsumen dan para perajin tahu tempe karena harga yang diperoleh menjadi relatif lebih murah. Namun di sisi lain, pasar kedelai domestik akan menghadapi kerentanan dalam persaingan harga akibat harga kedelai internasional. Selain itu, produk domestik juga menjadi tidak berkompetitif karena minat konsumen terhadap kedelai impor yang tinggi. Kedelai mengalami kelangkaan karena melonjaknya harga pasar internasional, disusul dengan ketidaksiapan produsen kedelai domestik dalam persaingan harga serta sikap dilema pemerintah untuk swasembada sumber daya pangan yang hanya bernilai tinggi saja.

Suatu negara akan mengusahakan yang terbaik bagi kemajuan suatu industri. Negara dituntut untuk membuat kebijakan yang responsif terhadap perdagangan dan industri yang berkembang. Peran pemerintah dinilai sangat besar dalam perkembangan industri domestik, khususnya kedelai yang sudah mengalami penurunan laju ekspor sebesar 5,92% selama periode 1961-2012. Dengan adanya distorsi pasar yang terjadi secara domestik maupun internasional, pemerintah harus mempersiapkan medan yang adil bagi produk pangan nasional dan mengkaji ulang mengenai kegagalan pasar (Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Perdagangan, 2015). Instrumen tarif impor dapat mengatur produk pangan kedelai. Jika tarif dan alokasi impor diberlakukan dalam rangka penyerapan kedelai petani, maka negara juga akan diuntungkan dengan pemasukan dari tarif impor sehingga akan berdampak pada peningkatan insentif petani kedelai dan perajin tahu tempe.

Referensi:

Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Perdagangan. (2015). Kajian Efektivitas Kebijakan Impor Produk Pangan dalam Rangka Stabilitas Harga. http://bppp.kemendag.go.id/media_content/2017/08/Kajian_Efektivitas_Kebijakan_Impor_Produk_Pangan_dalam_Rangka_Stabilisasi_Harga.pdf

Demir, Sepli. (2017). THE EFFECTS OF PROTECTIONIST POLICIES ON INTERNATIONAL TRADE. International Journal of Sciences, 136-158.

Rika, H. (2021, Januari 5). HKTI Ungkap Alasan RI Bisa Ketergantungan Kedelai Impor. CNN Indonesia. https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20210105131307-92-589634/hkti-ungkap-alasan-ri-bisa-ketergantungan-kedelai-impor

Anastasya Gabriela merupakan mahasiswi Ilmu Hubungan Internasional di Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta. Dapat ditemukan di Instagram melalui nama pengguna @anastasyagabriela_

Tentang Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *