Kolonialisme, Identitas ASEAN, dan Kegagalan Representasi Nilai-Nilai Warisan

0

Takluknya Pangeran Diponegoro kepada Jenderal De Kock di Perang Jawa pada 1830. Foto: Wikimedia Commons

Berangkat dari jargon “One Vision, One Identity, One Community”, ASEAN berusaha menumbuhkan sentimen we-feeling di antara masyarakat Asia Tenggara sebagai upaya membentuk identitas kolektif. Dalam usaha mencapai hal tersebut, ASEAN memperkenalkan Identitas ASEAN—yaitu sebuah narasi untuk mengingatkan negara anggota ASEAN tentang siapa sebenarnya mereka, dari mana mereka berasal, dan ke mana tujuan mereka—baik sebagai organisasi maupun komunitas. Identitas ASEAN ini pun terus digaungkan sebagai salah satu fondasi ASEAN, bahkan kembali disinggung pada 37th ASEAN Summit tahun 2020 lalu. 

Salah satu nilai yang ditekankan dalam Identitas ASEAN ialah adanya kesamaan tradisi, adat istiadat, dan kepercayaan sebagai warisan kultural yang menunjukkan jati diri bangsa Asia Tenggara. Namun, banyak akademisi yang meragukan implementasi Identitas ASEAN ini. Nyatanya, representasi kesamaan akar budaya yang dijanjikan dalam Identitas ASEAN tidak tampak, terlebih dari pola perilaku negara-negara Asia Tenggara yang tegas mengunggulkan kebudayaan mereka sebagai sesuatu yang unik dan berbeda satu sama lain  (Pravit Rojanaphruk, 2013). Dengan munculnya fenomena ini, penulis berargumen bahwa warisan kolonialisme berkontribusi terhadap gagalnya implementasi Identitas ASEAN dalam merepresentasikan sejarah dan latar belakang budaya di Asia Tenggara sebagai suatu identitas kolektif.

Selayang Pandang: Identitas ASEAN dan Nilai-Nilai Warisan Budaya Asia Tenggara

Dalam dokumen resminya, Identitas ASEAN berupaya untuk memperkuat komunitas ASEAN melalui dua nilai, yaitu nilai yang dibentuk (constructed values) dan nilai yang diwariskan (inherited values) (37th ASEAN Summit, 2020). Adapun nilai yang dikonstruksi merupakan nilai-nilai yang diadopsi oleh ASEAN secara sengaja untuk mencapai tujuan dari komunitas ASEAN itu sendiri, seperti menghargai kebebasan dan demokrasi, mematuhi hukum internasional, dan mengutamakan sentralitas ASEAN dalam melakukan hubungan eksternal. Sedangkan, nilai yang diwariskan ialah nilai-nilai kebudayaan dari leluhur dan nenek moyang bangsa Asia Tenggara, meliputi tradisi, adat istiadat, dan kearifan lokal sejak era pra-sejarah (37th ASEAN Summit, 2020).

Berfokus pada implementasi nilai yang diwariskan (inherited values) dalam Identitas ASEAN, ASEAN berupaya untuk merepresentasikan sejarah, keberagaman budaya, dan adat istiadat sebagai jati diri bangsa Asia Tenggara. ASEAN dalam dokumen resminya mendefinisikan nenek moyang bangsa sebagai komunitas etnis yang saling bercampur di Asia Tenggara (37th ASEAN Summit, 2020). Komunitas etnis tersebut memiliki dua kebiasaan hidup, yaitu menetap di suatu daerah dan bermigrasi untuk bertahan hidup. Komunitas etnis yang bermigrasi akhirnya menciptakan suatu rantai interaksi antar kelompok, sehingga terjadi proses akulturasi suku dan budaya yang berlanjut sepanjang sejarah. Keberagaman kultur peninggalan nenek moyang bangsa pada akhirnya menghasilkan artefak budaya berupa tradisi seni, ritual, upacara, hingga kuliner yang unik sebagai identitas bagi masyarakat Asia Tenggara. 

Meninjau Jejak Kolonialisme di Asia Tenggara

Setelah meninjau Identitas ASEAN secara garis besar, penulis berupaya untuk menilik jejak kolonialisme sebagai salah satu faktor sejarah yang lekat dengan perjalanan bangsa-bangsa di Asia Tenggara. Sayangnya, penulis menemukan dua poin penting yang membuktikan bahwa kolonialisme justru berkontribusi sebagai akar permasalahan pembentukan identitas kolektif di Asia Tenggara. 

Pertama, kolonialisme berkontribusi terhadap terkikisnya pemahaman masyarakat sebagai bagian dari Asia Tenggara—dan membentuk adanya konstruksi identitas baru sebagai ‘wilayah koloni’ bangsa tertentu. Ketika Asia Tenggara masih berada di bawah kekuatan Eropa, pergerakan orang-orang Asia Tenggara dibatasi berdasarkan aturan dari pemerintah kolonial masing-masing. Aturan tersebut berlaku sebagai upaya negara penjajah untuk mewujudkan kepentingan mereka, baik berupa kepentingan ekonomi maupun kepentingan politik (W. Peterson, 1983). Pemerintah kolonial mulai membentuk teritori dan batasan-batasan politik untuk menandai wilayah kekuasaan mereka (W. Peterson, 1983). Tindakan-tindakan tersebut sebagian besar dipengaruhi oleh persaingan sengit yang terjadi antara kerajaan Inggris, Belanda, Spanyol, dan Prancis selama era kolonial yang memaksa mereka untuk secara jelas menandai wilayah kontrol kolonial masing-masing (Lee Jun Jie, 2019).

Masyarakat di Asia Tenggara yang semula tidak mengenali batasan, pada akhirnya mulai dikotak-kotakkan sesuai dengan perjanjian masing-masing pemerintah kolonial—mulai dari penggunaan bahasa, pembagian geopolitik, hingga jaringan infrastruktur yang hanya terhubung di antara sesama koloni negara tertentu (Lee Jun Jie, 2019). Merujuk pada Benedict Anderson (1991), konsep bangsa dan nasionalisme adalah sesuatu yang sifatnya dikonstruksi, bukan alamiah—hingga pada akhirnya berpengaruh terhadap legitimasi emosional. Sama halnya dengan yang terjadi di wilayah Asia Tenggara, penulis melihat bahwa aturan pemerintah kolonial tersebut berhasil mengkonstruksi bayangan identitas masyarakat Asia Tenggara sebagai ‘sesama wilayah koloni’ negara tertentu. Aturan-aturan tersebut juga memutuskan sebagian besar relasi sosial dan budaya adat pra-kolonial yang telah ada sebelumnya (Rupert Emerson, 1971). Misalnya, alih-alih mengidentifikasi diri sebagai ‘orang Asia Tenggara’—Malaysia dan Burma lebih memandang diri mereka sebagai bagian dari Inggris, Indocina sebagai bagian dari Prancis, dan Indonesia sebagai bagian dari Belanda. 

Kedua, selain membentuk adanya batasan-batasan imajiner di benak masing-masing koloni, pemerintah kolonial juga memupuk adanya sentimen yang memecah belah bangsa-bangsa di Asia Tenggara. Salah satu contoh stereotip warisan kolonial adalah anggapan bahwa orang-orang Filipina—atau dikenal sebagai orang-orang Pinoy—adalah  orang yang pemalas. Stereotip tersebut muncul karena keengganan orang-orang Pinoy untuk bekerja dan mengabdi kepada orang Eropa (Ronald E. Seavoy, 1979). Hal ini membentuk adanya sentimen-sentimen tertentu terhadap orang-orang Pinoy. Alih-alih solidaritas antar ras di Asia Tenggara sebagai bentuk persaudaraan dengan basis regional, hal tersebut malah membentuk adanya kewaspadaan dalam menjalin relasi dengan orang-orang Pinoy. Merespons sentimen tersebut, orang-orang Pinoy pada akhirnya juga membentuk batasan tersendiri dengan orang luar (out-group) (Ronald E. Seavoy, 1979). Adapun contoh lainnya ialah Perjanjian Inggris-Belanda tahun 1824 yang memecah belah rumpun Melayu. Perjanjian tersebut berdampak pada pemisahan orang-orang Melayu di Kepulauan Sumatera dan orang-orang Melayu di Semenanjung Malaya (Lee Jun Jie, 2019). Adapun pemerintah kolonial mulai menginternalisasi kosa kata yang memecah belah dengan dalih menekankan pada kedaulatan nasional dan batas-batas wilayah. Padahal, mereka sama-sama berasal dari rumpun Melayu (Lee Jun Jie, 2019). 

Tinjauan Kritis: Warisan Kolonialisme dan Kegagalan Identitas ASEAN

Dengan melihat bagaimana kolonialisme begitu mengakar dalam sejarah Asia Tenggara, adapun poin utama dari argumen penulis adalah warisan kolonial berdampak pada bagaimana elite politik di Asia Tenggara bertindak—yang sayangnya berkontribusi terhadap kegagalan Identitas ASEAN dalam merepresentasikan warisan budaya nenek moyang. Penulis melihat bahwa terdapat empat peninggalan dari pemerintah kolonial yang terbawa dan diadopsi oleh elite politik hingga pasca-kemerdekaan, yaitu (1) tetap terjaganya batas-batas politik imajiner yang ditentukan oleh kekuatan kolonial; (2) pragmatisme ekonomi politik lebih diunggulkan dibandingkan latar belakang sejarah; (3) warisan sentimen yang menghalangi pembentukan komunitas bersama yang sesungguhnya; dan (4) mental penjajah yang diadopsi oleh elite politik.

Merujuk pada poin pertama, penulis melihat bahwa batasan-batasan hasil peninggalan kolonial tetap terjaga dan membentuk adanya konsep in-group dan out-group antar sesama bangsa Asia Tenggara. Dengan demikian, seringkali terjadi sengketa wilayah yang terjadi pasca-kemerdekaan di antara negara Asia Tenggara—yang pada akhirnya semakin menyulitkan integrasi regional. Salah satu contohnya ialah sengketa batas maritim di wilayah Pulau Miangas antara Indonesia dengan Filipina. Sebelumnya, Pulau Miangas merupakan wilayah yang diperebutkan oleh Amerika Serikat dan Belanda pada tahun 1906. Kedua kekuatan kolonial tersebut mengklaim kepemilikan atas pulau tersebut. Pada tahun 1928, tiga tahun setelah sengketa tersebut dirujuk ke Pengadilan Arbitrase Permanen di Den Haag, pengadilan memberikan hasil keputusan bahwa Pulau Miangas dimenangkan oleh Belanda (Lee Yong Leng, 1986).

Pasca kemerdekaan, wilayah ini akhirnya menuai konflik antara Filipina dengan Indonesia. Ketika Indonesia merdeka, Pulau Miangas diberikan kepada Indonesia. Namun, Filipina masih bersikukuh bahwa Pulau Miangas sejatinya masih berada di dalam wilayah yurisdiksi pemerintah Filipina berdasarkan ketentuan konstitusi yang mengacu pada Perjanjian Paris tahun 1898. Sedangkan, Indonesia tetap mengklaim Pulau Miangas menjadi hak milik mereka sebagai bekas dari wilayah Hindia Belanda. Kedua belah pihak sama-sama mengklaim wilayah tersebut berdasarkan batas-batas yang dikonstruksi oleh pemerintah kolonial. Padahal, penduduk wilayah tersebut awalnya adalah campuran antara orang-orang Talaud (Indonesia) dan Mindanao (Filipina) yang tinggal bersama dan membentuk kultur serta tradisi—yang sayangnya sudah terhapuskan (Lee Yong Leng, 1986). Dibandingkan menjunjung tinggi sejarah nenek moyang, pemikiran elite politik akhirnya terkurung dalam batasan yang dibentuk pemerintah kolonial bangsa Asia Tenggara. Pada akhirnya, hal tersebut gagal untuk membentuk identitas kolektif melalui Identitas ASEAN.

Selanjutnya, pada poin kedua, penulis melihat bahwa pada kenyataannya, negara-negara di wilayah Asia Tenggara tidak mengidentifikasi satu sama lain sebagai bangsa yang berasal dari akar budaya, nilai, dan tradisi yang sama seperti yang diartikulasikan dalam Identitas ASEAN. Kondisi-kondisi tersebut menjadi indikator bahwa ASEAN tidak dipersatukan oleh keterkaitan geografis atau sejarah—melainkan kepentingan material dan politik-ekonomi. Alih-alih menjunjung tinggi kesamaan budaya, sejarah, bahasa, rumpun, dan etnis sebagai identitas kolektif—poin-poin kesamaan tersebut hanya akan diakui apabila terdapat keuntungan yang dapat diraih (Michael E. Jones, 2004). Pada akhirnya, ASEAN bergerak sebagai instrumen dengan fungsi pragmatis untuk mencapai kepentingan masing-masing negara maupun elite politik tertentu. 

Berkesinambungan dengan poin pertama perihal batas-batas imajiner, elite politik negara memang cenderung untuk mempertahankan kepentingan nasional yang berakar dari konsep negara dengan batasan-batasan administratif hasil peninggalan kolonial—dibandingkan dengan kepentingan regional (Rupert Emerson, 1971). Dengan demikian, penulis menarik benang merah bahwa nilai-nilai yang diwariskan (inherited values) dalam Identitas ASEAN gagal untuk diimplementasikan—atau bahkan memang hanya berfungsi sebagai formalitas semata. 

Kemudian, pada poin ketiga, penulis melihat bahwa sentimen rasial yang terbentuk sejak zaman kolonial membentuk adanya identitas biner dan dikotomi di antara masyarakat kawasan Asia Tenggara. Kala itu, pemerintah kolonial sering memilih untuk membina hubungan khusus dengan kelompok etnis mayoritas demi mempertahankan kendali mereka atas kelompok tersebut (Charles Hirschman, 1986). Hal ini semakin memecah komunitas etnis Asia Tenggara ketika pemerintah kolonial memberikan perlakuan yang tidak setara, hingga menumbuhkan persepsi bahwa kaum mayoritas lebih tinggi derajatnya dibandingkan kaum minoritas. Sebagai hasil dari kebijakan kolonial yang condong terhadap etnis yang mereka rasa menguntungkan, dewasa ini semakin kental terbentuk adanya dikotomi dan identitas biner di antara bangsa-bangsa Asia Tenggara—seperti pola pikir ras versus ras, minoritas versus mayoritas, maupun pandangan miring dan gap dengan masyarakat adat (Charles Hirschman, 1995).

Untuk melihat lebih jauh bagaimana Identitas ASEAN masih berada dalam bayang-bayang sentimen yang dibentuk oleh penjajah, penulis mengambil contoh persepsi terhadap identitas biner antara elite dengan masyarakat adat. Merujuk pada data yang diolah oleh International Work Group for Indigenous Affairs (2010), masyarakat adat sama sekali tidak disebutkan atau dirujuk dalam dokumen ASEAN mana pun. Padahal, apabila melihat dari definisi nilai-nilai yang diwariskan dalam Identitas ASEAN, masyarakat adat tentu merupakan bagian integral dari komunitas ASEAN yang sepatutnya turut direpresentasikan. Di era kontemporer, kelompok masyarakat adat semakin teralienasikan dan rentan untuk diabaikan hak-haknya. Nilai-nilai yang diwariskan dalam Identitas ASEAN seakan menjadi narasi elite belaka. 

Sejalan dengan poin ketiga mengenai pola-pola dikotomi masyarakat tersebut, penulis memiliki argumen terakhir, bahwa mental elite politik mewarisi mental para penjajah. Hal tersebut direfleksikan melalui perlakuan ASEAN terhadap sejumlah masyarakat adat. Mengambil contoh Master Plan Pembangunan Sosial-Ekonomi yang diratifikasi oleh otoritas Kamboja dan Laos sebagai bagian dari Rencana Integrasi ASEAN, program ini menargetkan  ekstraksi sumber daya yang menjadi wilayah masyarakat adat di Kamboja. Sayangnya, proyek tersebut seringkali dilaksanakan tanpa adanya dialog, konsultasi, maupun persetujuan dari masyarakat adat yang terkena dampak. Akibatnya, Anggota Aktif Hak Adat (IRAM) mengklaim lebih dari lima juta hektar tanah masyarakat adat telah dirampas oleh pemerintah Kamboja dan diberikan kepada perusahaan pertambangan, perkebunan, dan pertanian (Charling Joan, 2011). Dengan demikian, terlihat bahwa ASEAN gagal untuk mengimplementasikan Identitas ASEAN karena tidak mengakomodasi secara adil seluruh masyarakat Asia Tenggara yang masih satu tradisi dan budaya.

Adapun penulis juga turut menyayangkan bahwa sebagian besar literatur hanya berfokus pada dimensi keamanan dan ekonomi ASEAN—yang pendekatannya lebih didominasi oleh nilai yang dikonstruksi (constructed value). Dengan demikian, tidak banyak diskusi yang membahas bagaimana evaluasi dari posisi masyarakat adat dalam mewujudkan integrasi komunitas regional ASEAN. Mengutip Acharya, identitas kolektif seyogyanya menjadi fondasi yang seharusnya diutamakan terlebih dahulu—terlebih apabila ingin memperkuat solidaritas dalam komunitas regional dengan membawa konteks geografis dan kesamaan budaya sebagai identitasnya (Amitav Acharya, n.d). Hal ini juga menjadi kritik bagi penulis bahwa kajian mengenai ASEAN juga masih terlalu elitis dan melupakan hakikat sebenar-benarnya dari sebuah komunitas.

Kesimpulan

Dengan meninjau secara kritis perihal Identitas ASEAN dalam merepresentasikan nilai-nilai yang diwariskan, penulis berkesimpulan bahwa ASEAN sejauh ini telah gagal mengimplementasikan Identitas ASEAN sebagai upaya untuk meningkatkan kesadaran—baik di kalangan birokrat maupun masyarakatnya—yang mendorong ASEAN untuk melakukan integrasi regional sesungguhnya. Kegagalan perwujudan identitas kolektif melalui Identitas ASEAN ini merupakan bukti dari masih terperangkapnya Asia Tenggara dalam bayang-bayang dan warisan era kolonial yang terlalu eksklusif dan berfokus pada ‘pembangunan modern’—alih-alih mengutamakan nilai-nilai tradisi dan kultur sebagai salah satu instrumen yang melandasi kesamaan identitas dalam suatu komunitas. Oleh karena itu, penulis merekomendasikan agar ASEAN dapat mengembangkan identitas kolektif dengan berangkat dari pemahaman terkait sejarah kawasan, serta mengembangkan kesadaran yang lebih besar tentang hubungan erat antara sejarah dan kultur di wilayah Asia Tenggara.

Referensi

“The Narrative of ASEAN Identity.” Dipresentasikan dalam 37th ASEAN Summit tanggal 12 November 2020. https://asean.org/storage/2020/11/9-The-Narrative-of-ASEAN-Identity_Adopted-37th-ASEAN-Summit_12Nov2020.pdf.

Acharya, Amitav. “The Evolution and Limitations of ASEAN Identity.” Economic Research Institute for ASEAN and East Asia (ERIA). https://www.eria.org/ASEAN_at_50_4A.2_Acharya_final.pdf.

Anderson, Benedict. (1991). Imagined Communities: Reflections on the Origin and Spread of Nationalism. Verso.

Emerson, Rupert. (1971). “Post-Independence Nationalism in South and Southeast Asia: A Reconsideration.” Pacific Affairs 44, no. 2: 173-92. doi:10.2307/2755376.

Hirschman, Charles. (1986). “The Making of Race in Colonial Malaya: Political Economy and Racial Ideology.” Sociological Forum 1, no. 2: 330-6. http://www.jstor.org/stable/684449.

Hirschman,   Charles. (1995). “Ethnic Diversity and Change in Southeast Asia.” Dalam Population, Ethnicity and Nation Building, disunting oleh Calvin Goldscheider, 19-36. Westview Press. 

International Work Group for Indigenous Affairs. (2010). “ASEAN Indigenous People.” ASEAN Briefing Paper. https://www.iwgia.org/images/publications/0511_ASEAN_BRIEFING_PAPER_eb.pdf

Jie, Lee Jun. (2019, 4 Januari). “Colonialism and ASEAN Identity: Inherited ‘Mental Barriers’ Hindering the Formation of a Collective ASEAN Identity: Kyoto Review of Southeast Asia.” Kyoto Review of Southeast Asia. https://kyotoreview.org/trendsetters/colonialism-asean-identity/.

Joan, Charling. (2011). “Victims of development aggression Indigenous Peoples in ASEAN.” Asia Indigenous Peoples Pact (AIPP). https://media.business-humanrights.org/media/documents/files/documents/Victims_of_development_aggression.pdf.

Jones, Michael E. (2004, April). “Forging an ASEAN Identity: The Challenge to Construct a Shared Destiny.” Contemporary Southeast Asia 26, no. 1.

Leng, Lee Yong. (1986). “The Colonial Legacy in Southeast Asia: Maritime Boundary Problems.” Contemporary Southeast Asia 8, no. 2: 119-30. http://www.jstor.org/stable/25797892.

Peterson, W. (1983). “Colonialism, Culture History, and Southeast Asian Prehistory.” Asian Perspectives, Vol. 25, No. 1.

Rojanaphruk, Pravit. (2013). “ASEAN as a grouping is a failure, academic insists”. The Nation. https://www.nationthailand.com/national/30213347. Seavoy,   Ronald E. (1979). “Reviewed Work(s): The Myth of the Lazy Native: A Study of the Image of the Malays, Filipinos and Javanese from the 16th to the 20th Century and Its Function in the Ideology of Colonial Capitalism by Syed Hussein Alatas.” Journal of Southeast Asian Studies 10, no. 1: 217-19. http://www.jstor.org/stable/20070287.

Florie Aurantia merupakan mahasiswi Hubungan Internasional Universitas Indonesia. Dapat ditemui di Instagram dengan nama pengguna @floriehendrian

Tentang Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *