Lingkungan vs. SDGs: Marginalisasi Masyarakat Adat Papua

0

Ilustrasi masyarakat Marind. Foto: IAmPapua

Merauke telah ditetapkan menjadi pusat pengembangan pangan. Penetapan ini disahkan melalui proyek Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) dengan mengacu pada Masterplan Percepatan Perluasan Pembangunan Ekonomi (MP3EI) pada tahun 2010. Studi Dewi (2016) menunjukkan bahwa MIFEE diklaim sebagai proyek pembangunan berkelanjutan karena mengembangkan konsep food estate yang mengintegrasikan produksi pangan yang mencakup pertanian, perkebunan, dan peternakan. Proyek MIFEE dicanangkan untuk meningkatkan ketahanan pangan nasional, sama seperti pendahulunya, yaitu Revolusi Hijau, yang berhasil menciptakan swasembada beras. 

Pengambilan langkah strategis pemerintah untuk mewujudkan MIFEE dilatarbelakangi oleh masuknya Indonesia dalam kelompok negara lower middle income country yang memiliki rentang pendapatan per kapita nasional sebesar USD 1.026 hingga USD 4.035 pada waktu itu (Saputra, 2014). Masterplan pembangunan nasional yang menaungi realisasi pusat pengembangan pangan, memberikan MIFEE landasan struktural yang cukup kuat. 

Menurut Dewi (2016) Merauke dipilih menjadi basis produksi pangan karena dianggap sebagai ‘lahan tidur’ yang potensial. Alasan lainnya yaitu Merauke pernah menghasilkan lumbung padi untuk kawasan Pasifik Selatan pada masa kolonial Belanda. Selain itu, MIFEE merupakan transformasi proyek pembangunan pertanian milik pemerintah daerah yang tercantum dalam program Merauke Integrated Rice Estate (MIRE) yang terfokus pada penanaman padi sejak tahun 2007.

Konsep pengembangan pangan atau food estate menggunakan pendekatan pembangunan berkelanjutan dalam sektor pertanian berdasarkan pada gagasan Our Common Future yang digagas oleh World Commision on Environment and Development (WCED) pada tahun 1989. Pembangunan berkelanjutan memastikan untuk memenuhi kebutuhan saat ini tanpa mengurangi kemampuan generasi masa depan untuk memenuhi kebutuhan. Konsep pembangunan berkelanjutan tidak menyiratkan batasan menerapkan teknologi yang berdampak terhadap sumber daya lingkungan sebagai akibat dari pemenuhan kebutuhan manusia. 

Akan tetapi, dengan pengelolaan teknologi dan pengorganisasian sosial menjadi era baru bagi pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Gagasan Our Common Future ini menganggap bahwa kemiskinan merupakan permasalahan endemik  yang akan selalu rentan terhadap bencana ekologis dan lainnya. Dengan begitu, pembangunan berkelanjutan menyediakan pemenuhan kebutuhan dasar dan memperluas kesempatan untuk pencapaian kehidupan yang lebih baik.

MIFEE dan SDGs

Dalam konteks pelaksanaan dalam proyek MIFEE, pembangunan berkelanjutan diarahkan untuk percepatan pembangunan yang berorientasi pada masa depan demi mewujudkan ketahanan pangan di Indonesia (Ekonomi Bisnis, 2012). Pendekatan pembangunan berkelanjutan dalam MIFEE ditinjau dari sisi pengembangan wilayah, integrasi sektor dan sub-sektor, pendekatan lingkungan berkelanjutan, dan pemberdayaan masyarakat. Dari sisi pengembangan wilayah,  food estate menjadi upaya perluasan dan peningkatan produksi pangan yang bertujuan menciptakan sentra produksi pangan serta mendorong perekonomian wilayah (Rumusan Seminar Nasional, 2010). Pengintegrasian sektor dan sub-sektor menekankan sisi keterlibatan pengelolaan dari pemerintah daerah, pemerintah pusat, sektor swasta, dan petani. 

Pembangunan ekonomi yang berwawasan lingkungan berkelanjutan dilihat melalui penggunaan sumber daya yang dapat tergantikan dan minim polusi serta dampak lingkungan (Jaya, 2004). Dari sisi pemberdayaan masyarakat, pemerintah bertugas mengarahkan sektor swasta untuk melakukan kerjasama secara terpadu bersama petani lokal.  Kerja sama yang berbentuk kemitraan swasta dan masyarakat didasarkan pada kepemilikan natural aset berupa tanah ulayat masyarakat adat. Tujuan pemanfaatan dari bagi hasil swasta dan masyarakat adalah untuk membiayai investasi yang menjadi modal bagi peningkatan kualitas hidup masyarakat lokal (Badan Litbang Pertanian, 2010) 

Pendekatan neoliberalisme yang diterapkan dalam mega proyek ini, memperlihatkan keberpihakan negara yang mempersilakan perusahaan-perusahaan untuk menggarap ‘lahan tidur’ di Merauke (Yando & Kleden, 2011). Keberpihakan ini, secara kasarnya, mengusir keberadaan komunitas asli Orang Marind yang sudah ratusan tahun mendiami wilayah tersebut. Fakta peminggiran mirisnya dilakukan negara diatas cita-cita pembangunan berkelanjutan. 

Pentingnya Alam bagi Orang Marind

Dalam konteks masyarakat Papua secara umum, melalui pembacaan literatur teks-teks, perempuan Papua mempengaruhi keberlangsungan alam (Hardiningtyas, 2016). Misalnya, dalam kehidupan suku Wamesa dan Irarutu di Teluk Bintuni, Papua Barat, pada ekosistem hutan mangrove. Meskipun perempuan menjalankan tugas produktif, reproduktif, dan sosial sekaligus, namun dalam pemenuhan kebutuhan domestik, perempuan memperhatikan pengelolaan hutan mangrove secara berkelanjutan. Ketika mencari kayu bakar di hutan, perempuan tidak melakukan penebangan, melainkan hanya memungut ranting-ranting tumbuhan yang sudah kering (Laksono, 2000). 

Pada lingkup orang Marind, kekerabatan erat dengan alam, terutama keterikatan dengan tanah terbentuk secara spiritual. Keterikatan ini juga mengikat orang Marind dengan tanah dalam hubungan sosial. Pembentukan identitas, proses produksi material, termasuk pertukaran sosial dalam komunitas orang Marind, ditentukan oleh penguasaan tanah. Oleh karena itu, bagi orang Marind, tanah memiliki nilai yang sangat tinggi. Nilai tanah sangat bergantung, salah satunya, pada perubahan lanskap dan perubahan lokasi kekuasaan internal dan eksternal. Hak atas tanah ditentukan oleh interaksi sosial. Keputusan penggunaan tanah sangat jarang ditentukan oleh individu, melainkan berdasarkan garis keturunan, sejarah penggunaan tanah, sejarah hubungan sosial antar anggota marga, dan mitologi komunitas etnis Orang Marind. Meskipun tanah melekat dalam hubungan sosial orang Marind, namun tanah tidak bermakna sebagai komoditas (Darmanto, 2014). 

Merujuk pada kosmologi orang Marind, alam dipandang sebagai seorang ibu yang menjadi sumber kehidupan. Khususnya hutan yang menyediakan segala kebutuhan pangan seperti sagu, hewan buruan, dan berbagai jenis tumbuhan. Layaknya seorang ibu bertugas mengasuh, merawat, dan memberi kenyamanan, maka hutan adalah rumah di mana sebagian besar komunitas etnis di Kabupaten Merauke tinggal. Termasuk pula orang Marind yang hidup di hutan secara pindah-pindah. Orang Marind merasa bahwa hutan adalah nenek moyang mereka dan juga tempat di mana orang Marind berasal. Hal ini terlihat dari setiap marga orang Marind yang mengasosiasikan dirinya dengan tumbuhan atau hewan di hutan. Misalnya, marga Gebze yang melambangkan dirinya dengan pohon kelapa, identitas marga Samkakai yang melekat pada kangguru, marga Mahuze yang mengobjektifikasi dirinya lewat sagu, marga Kaize yang mengasosiasikan kelompoknya melalui kasuari (Barahamin, 2015) 

Konsekuensi MIFEE: Marginalisasi Orang Marind

Kemelekatan identitas orang Marind dengan hutan menunjukkan besarnya ketergantungan mereka terhadap alam. Konsekuensi hadirnya MIFEE yang mengalihfungsikan hutan menjadi lahan non-hutan pun mengancam identitas diri orang Marind. Masifnya teknologi yang diterapkan dalam investasi pertanian mega proyek MIFEE tidak signifikan bagi penghidupan orang Marind karena kehidupan mereka yang bersumber dari alam itu dianggap tertinggal. Peningkatan produktivitas produk pertanian merupakan prioritas utama dalam proyek MIFEE. Upaya ini menjadi pembelaan untuk mewujudkan modernisasi pertanian. Di sisi lain, kebergantungan terhadap alam sebagai entitas budaya masyarakat seringkali diabaikan oleh pihak yang berkuasa. 

Pola perampasan lahan dalam proyek MIFEE berhasil menjadi praktik marginalisasi terhadap Orang Marind di tanah kelahirannya sendiri. Orang Marind menjadi terancam karena harus mengubah jati dirinya, dari kebiasaan makan sagu menjadi makan nasi. Perubahan pola makan ini mengartikan ‘jawanisasi’, yang mana pemenuhan kebutuhan dilakukan dengan menggantikan hutan sagu menjadi lahan sawah yang dengan terpaksa harus mendatangkan tenaga kerja petani dari luar yang kebanyakan dari Pulau Jawa. Situasi ini dapat menjadi lebih parah karena kedatangan tenaga kerja yang lebih terampil akan menggantikan komunitas asli Papua. Dengan kata lain, proyek MIFEE menjadikan orang Marind persis seperti anak yang dipisahkan dari ibu kandungnya.

Perempuan sebagai makhluk yang memiliki hubungan terhadap alam pun akan mulai bergeser yang mana peran mereka untuk mengambil sumber makanan di alam akan bergeser untuk bercocok tanam. Dengan demikian, hal itu akan memunculkan adanya sikap untuk memperoleh keuntungan dari alam secara finansial dengan adanya proyek tersebut. Padahal sebelumnya masyarakat Papua memperoleh makanan tanpa pernah memikirkan tentang keuntungan secara finansial tetapi hanya berpikir bahwa dengan menjaga alam tetap lestari, maka kebutuhan hidup mereka akan terpenuhi. 

Oleh karena itu, bisa dikatakan bahwa program tersebut akan menciptakan kerusakan terhadap alam yang ada dan manusia akan memiliki kecenderungan untuk menciptakan kerusakan yang ada. Sudah seharusnya pemerintah memahami apa yang dibutuhkan oleh masyarakat Papua alih-alih mengarahkan cara hidup orang Papua agar menjadi seperti orang-orang yang duduk di kursi pemerintahan yang setiap hari memakan nasi, bukan sagu.

Kesimpulan

Konsep pembangunan berkelanjutan yang digagas oleh pemerintah saat ini hanyalah bualan semata untuk memenuhi kepentingan kelompok tertentu dan bukan masyarakat adat Papua. Adanya proyek MIFEE hanya akan memunculkan terjadinya kerusakan sehingga seharusnya pemerintah lebih memahami dan mampu memetakan daerah mana saja yang bisa dicanangkan untuk program ini, bukan untuk semua daerah untuk dipaksa makan nasi, karena hal itu mengingatkan kita akan masa lalu bangsa ini yang sebelum adanya pertanian kita semua masihlah makan sagu. Dengan bergesernya konsumsi pokok masyarakat Papua dari sagu ke beras maka akan menciptakan kerusakan lingkungan yang nyata, karena hutan pada akhirnya akan berkurang dan hilang.

Namun ketika semua proyek sudah berada dalam proses, maka hal itu tidak bisa dihindari lagi. Masalah muncul karena penguasaan atas lahan yang ada sudah seharusnya bukan milik investor ataupun privat. Akan tetapi, lahan seharusnya dikuasai oleh masyarakat asli Papua agar hal itu bisa menciptakan pertumbuhan secara ekonomi maupun sosial dari masyarakat Papua. Jika hal itu tidak bisa dilaksanakan maka seharusnya negara adalah organ yang menguasai dan mengelola lahan untuk digunakan demi kemakmuran masyarakat Papua—bukan untuk menyejahterakan segelintir pengusaha. 

Daftar Pustaka

Barahamin, Andre. (2015). Hikayat Beras Pemangsa Sagu: Etnosida terhadap Malind-Anim melalui Mega Proyek MIFEE. 

https://indoprogress.com/2015/10/hikayat-beras-pemangsa-sagu-etnosida-terhadap-malind-anim-melalui-mega-proyek-mifee.

Badan Litbang Pertanian (2010). Rencana Pengembangan Food Estate di Indonesia. Kementrian Pertanian Republik Indonesia. 

http://old.litbang.pertanian.go.id/berita/one/819/file/Bagian-1

Dewi, Rosita. (2016). Dilema Percepatan Pembangunan dan Permasalahn Pembangunan Berkelanjutan dalam Pelaksanaan MIFEE di Merauke. http://ejournal.politik.lipi.go.id/index.php/jpp/article/view/448/261

Darmanto, 2014. Biografi Tipis Tanah Marind Anim. Wacana Jurnal Transformasi Sosial, Vol. 16, No. 33: (235-245).

Ekonomi Bisnis. (2012). Food Estate: Konsep Kawasan Skala Luas Akan Tetapi Dilanjutkan.

https://ekonomi.bisnis.com/read/20120415/99/72620/food-estate-konsep-kawasan-pangan-skala-luas-akan-tetap-dilanjutkan

Hardiningtyas, Puji Retno. 2016. Resistansi Perempuan Papua di Lingkungannya dalam Roman Isinga Karya Dorothea Rosa Herliany. 

Jaya, Askar. 2004. Konsep Pembangunan Berkelanjutan. Bogor: Institut Pertanian Bogor.

P.M. Laksono, et.al. 2000. Perempuan di Hutan Mangrove: Kearifan Ekologis Masyarakat Papua. Yogyakarta: Pusat Studi Asia Pasifik Universitas Gajah Mada.

Rumusan Seminar Nasional “Food Estate di Indonesia”. 2010. Bogor.

https://www.ipb.ac.id/event/index/2010/12/seminar-food-estate-di-indonesia/33ac783f578e8cdd74f91cefa0da04ae

Saputra, Wiko. 2014. Pembangunan Ekonomi dan Terancamnya Hak Dasar Masyarakat: Kritik dan Kajian terhadap Kebijakan MP3EI 2011-2025. Jakarta: Perkumpulan Prakarsa.

Zakaria, R.Yando, Emilianus Ola Kleden, Y.L. Franky. 2011. MIFEE: Tak Terjangkau Angan Malind. Jakarta: Yayasan PUSAKA

Krisnaldo Triguswinri merupakan Mahasiswa Magister Administrasi Publik, Universitas Diponegoro. Dapat ditemui melalui Instagram dengan nama pengguna @Krisnaldotriguswinri_.

Tentang Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *