Sebuah Renungan di Ciheras: Arti Spasial Bagi Energi Terbarukan

0

Ilustrasi Desa Ciheras. Foto: M. Syahman Samhan

“Oh… angin malam

Menyentuh kalbuku dengan sejuta kenangan

Rindu yang harusnya tak lagi aku genggam

Semilirmu menghantarkan aku masuk pintu kenangan

Yang sempat aku kunci dan ku tinggalkan” – S. Mulaningsih

Bak pujangga yang sedang gundah hatinya, malam itu aku menyusuri padang rumput Ciheras seorang diri ditemani oleh kincir angin-kincir angin yang berputar dihembus angin. Si penari langit. 

Di tengah-tengah filosofi-filosofi kehidupan yang bermunculan di benakku, tiba-tiba ada pertanyaan yang menggelitik muncul di pikiranku. Jika kincir angin ini memang sehebat yang dibilang orang, kenapa tidak dibangun saja di seluruh penjuru nusantara? Kenapa energi terbarukan yang digadang-gadangkan para cendekiawan tidak diterapkan di setiap permukiman? 

Dinginnya malam membuatku semakin mengeratkan jaket yang kupakai. “Dingin begini pasti karena angin,” pikirku. Angin. Sontak pikiranku kembali ke masa lalu, di saat aku masih tinggal di Bekasi. Di sana cuacanya panas dan jarang dihampiri oleh angin sepoi-sepoi. 

“Ah, kurasa itu sebabnya,” aku bergumam. Tidak seluruh daerah memiliki sumber daya alam yang sama. Ada daerah yang anginnya kuat, ada yang lemah. Karena bagaimanapun juga, untuk berputar dan menghasilkan energi listrik, kincir angin tetap membutuhkan hembusan angin yang cukup kuat untuk membuatnya berputar. Kasus yang sama berlaku pula untuk pembangkit listrik energi terbarukan yang lain. Panel surya membutuhkan penyinaran matahari yang cukup, kincir air membutuhkan sumber daya air yang mengalir dari tempat tinggi ke tempat yang lebih rendah. 

Di Ciheras, kecepatan angin rata-ratanya itu sebesar 4,29 m/s. Dengan kecepatan angin tersebut, satu kincir angin dapat menghasilkan listrik sebesar 1129 kWh/tahun. Sebagai perbandingan, rata-rata penggunaan listrik harian rumah tangga di Indonesia ialah sebesar 660 kWh/tahun. 

Jadi sudah jelas bahwa salah satu tantangan dalam mengadopsi energi terbarukan ialah ketersediaan sumber daya terbarukan. Untungnya hal ini bukanlah masalah serius yang harus dihadapi di seluruh Indonesia. Dari berbagai penelitian, ditemukan bahwa potensi energi terbarukan di Indonesia mencapai 400 Giga Watt, dengan energi surya, air, dan angin terletak di peringkat teratas dalam ranking potensi yang ada di Indonesia. 

Tentu saja kita tidak bisa menyamaratakan setiap daerah. Sebagai contoh, di kampung halamanku di Jawa Timur, sumber energi terbarukan yang paling potensial ialah energi surya dengan nilai 10 Giga Watt. Sementara di provinsi tempat aku kuliah, D.I. Yogyakarta, sumber energi terbarukan yang paling potensial ialah energi angin dengan nilai 1 Giga Watt. 

Selagi berjalan menyusuri rerumputan, aku melewati sekumpulan bunga yang indah. Berdasarkan apa yang kudengar, tak jauh dari sini terdapat sarang-sarang lebah hutan. Mungkin saja lebah-lebah itu sering singgah ke padang rumput ini juga untuk mencari bunga. Ah, aku jadi terpikir sebuah metafora yang cukup bagus. Perencanaan pembangunan pembangkit listrik energi terbarukan itu bagaikan permainan menemukan harta karun dimana kita harus mencari titik yang tepat agar alam mau bekerja sama dengan kita untuk menghasilkan listrik yang optimal. Jarak antara pembangkit listrik dan populasi penduduk tidak boleh terlalu jauh agar biaya penyaluran energinya tidak terlalu besar. Mirip seperti lebah yang tidak boleh terlalu jauh dalam mencari madu untuk sarangnya.

Semakin jauh aku berjalan, semakin banyak aku melihat berbagai jenis bentang alam di bumi Ciheras ini. Perbukitan, pertokoan, warung. Tempat-tempat yang kusebutkan tadi memiliki lokasi, ukuran, dan bentuk yang berbeda-beda. Dalam ilmu geodesi, hal-hal tersebut disebut sebagai data spasial. Data spasial biasanya disajikan dalam bentuk peta. 

Seiring berjalannya waktu, aktivitas manusia sehari-hari mengubah lingkungan di sekitarnya. Otomatis data spasial yang ada di lingkungan yang dimaksud pun ikut berubah. Pembangunan rumah baru, perluasan danau, pembuatan sawah, merupakan contoh-contoh aktivitas manusia yang menyebabkan perubahan data spasial. Untuk mengikuti perkembangan itu, dibuatlah sistem informasi geografis yang berfungsi untuk menganalisis dan memproses data tersebut. 

Dalam konteks energi terbarukan, sistem informasi geografis dapat digunakan untuk menentukan tempat pembangunan pembangkit listrik energi terbarukan yang tepat. Hal ini dilakukan dengan analisis mendalam dari potensi sumber energi terbarukan, jarak dari perkotaan, besar populasi, dan jenis bentang alam. Ia bahkan dapat memprediksi pengaruh sosial dan lingkungan dari pembangunan tersebut. 

Mari kita kembali ke masa lampau untuk melihat salah satu contoh manfaat dari analisis data spasial. Tepatnya pada tahun 1854 di Soho, London. Pada zaman tersebut, orang-orang mengira bahwa penyakit Kolera menyebar melalui udara. Tapi ada satu orang yang skeptis terhadap hipotesis tersebut. Orang tersebut adalah John Snow (bukan orang yang sama dengan yang ada di serial Game of Thrones). 

Untuk mencari tahu soal pandemi ini, ia mengidentifikasi tempat tinggal dari orang-orang yang tertular oleh penyakit ini berdasarkan peta kota. Dengan melakukan ini, ia menyadari bahwa ada pola dan hubungan antara mereka yang tertular dan dimana mereka tinggal. Dari analisis sederhana tersebut, John Snow dapat menyimpulkan siapa tersangka dari pandemi Kolera – sebuah mata air yang terkontaminasi. 

Sayup-sayup dari kejauhan aku melihat bapak-bapak yang baru saja akan menutup tokonya. Setelah selesai menutup folding gate toko, cahaya lampu di depan toko tersebut padam. “Oh, mungkin untuk menghemat listrik,” pikirku. 

Apa yang baru saja kulihat merupakan salah satu alasan kenapa data spasial itu penting untuk mengadopsi energi terbarukan di suatu daerah. Penggunaan listrik harian dan jenis kegiatan warga ialah beberapa contoh dari turunan data spasial. Tentunya hal-hal tersebut akan berbeda antara di desa dan di kota. Mungkin saja penggunaan listrik di kota akan berada pada puncaknya di siang hari akibat aktivitas di gedung-gedung perkantoran, sementara di desa puncaknya pada malam hari sewaktu masyarakat melaksanakan aktivitasnya di rumah. Pasokan listrik dari energi terbarukan harus memperhatikan hal-hal itu. 

Tak terasa cukup lama aku berjalan kaki sampai akhirnya aku tiba di pinggir pantai. Kedatanganku disambut oleh hembusan lembut angin laut yang membelah rambutku serta deburan ombak yang membawa hanyut pikiranku. 

Sembari menatap bintang-bintang di langit, aku mencoba mengingat kembali kutipan perkataan dari ibuku. “Tuhan memberi kita semua rezeki yang mencukupi, kita hanya harus mencari tahu dimana letak rezeki itu.” 

Kutipan tersebut membuatku berpikir bahwasanya memang benar setiap wilayah di Indonesia memiliki potensi yang bermacam-macam. Tugas kita adalah memanfaatkan potensi tersebut sebaik mungkin. 

Referensi

Bachtiar. 2018. Analisis Potensi Pembangkit Listrik Tenaga Angin PT. Lentera Angin Nusantara (LAN) Ciheras. Padang. 

IESR. 2019. Laporan Status Energi Bersih Indonesia: Potensi, Kapasitas Terpasang, dan Rencana Pembangunan Pembangkit Listrik Energi Terbarukan 2019. http://iesr.or.id/wp-content/uploads/2019/07/IESR_Infographic_Status-Energi-Terbarukan-Indonesia.pdf

Mapline. 2017. The Growing Role of GIS for Renewable Energy. Mapline. https://mapline.com/role-gis-renewable-energy/

Safe Software. 2018. What is Spatial Data? https://www.safe.com/what-is/spatial-data/

Safe Software. 2018. Why Spatial Data is important? https://www.safe.com/why/spatial-data/ 

Fauzan Maulana Shodiq adalah anggota Tim Riset dan Diskusi Adidaya Initiative. Dapat ditemui di Instagram dengan nama pengguna @fauzanmaulanash

Tentang Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *