Sepak Bola dan Politik: Media Baru Dalam Eskalasi Isu HAM

0

Perhitungan mundur ajang Piala Dunia 2022 di Doha, Qatar. Foto: Darko Bandic/Associated Press

Pembicaraan mengenai dunia sepak bola tentu tidak lepas dari pengaruhnya terhadap kultur sosial dan budaya. Setiap wilayah serta masyarakat di dalamnya memiliki budaya serta pemaknaannya tersendiri mengenai cara mereka menunjukkan “kecintaanya” terhadap sepak bola. Di awal kemunculannya, sepak bola hanya sebatas kegiatan olahraga. Akan tetapi, seiring berjalannya waktu, sepak bola kerap menyajikan sebuah pandangan tersendiri mengenai eksistensi manusia di dunia. Sepak bola juga dapat dijadikan cerminan dari kultur dan juga permasalahan sosial yang ada dalam suatu tempat.

Kondisi tersebut dapat tercermin melalui ajang Piala Dunia tahun 2022 saat ini. Ajang pertandingan sepak bola yang diselenggarakan di Qatar ini memiliki berbagai macam polemik yang menghiasinya. Tidak hanya tersaji sebuah pertandingan sepak bola saja namun juga ada hal unik lain yang menjadi fokus perhatian publik, yakni pertandingan isu-isu politik, khususnya mengenai isu kemanusiaan. Olahraga sepak bola ini nyatanya dipandang telah melalui evolusi terkait dengan kehadirannya. Di mana dahulu sepak bola hanyalah sebatas olahraga yang menghibur, kini sepak bola telah berevolusi menjadi olahraga yang dapat dijadikan media kampanye mengenai isu tertentu.

Permainan Politik

Penunjukan Qatar sebagai tuan rumah piala dunia pada tahun 2022 ini menimbulkan respon banyak pihak yang meragukan dan menduga terdapat permainan politik di antara FIFA dan Qatar. Dugaan ini juga diperkuat dengan pernyataan dari Presiden FIFA Sepp Blatter yang mengakui bahwa penunjukkan Qatar sebagai tuan rumah merupakan sebuah kesalahan dan itu merupakan sebuah pilihan yang buruk (Tempo, 2022). Pernyataan tersebut seolah-olah menunjukkan bahwa Qatar merupakan negara yang tidak layak menyelenggarakan Piala Dunia. Selain itu, ada juga anggapan bahwa Qatar merupakan negara kecil yang tidak memiliki fasilitas sepak bola yang memadai. Ditambah pada saat mengajukan bidding untuk tuan rumah Piala Dunia, Qatar belum memiliki fasilitas penunjang untuk ajang olahraga tersebut secara lengkap.

Dengan demikian, sudah menjadi hal yang masuk akal ketika Qatar dinilai tidak layak menjadi tuan rumah Piala Dunia di tahun ini. Walaupun begitu, mengingat Qatar merupakan negara yang kaya, tidak menutup kemungkinan jika dengan menggunakan “kekayaannya” dapat melakukan apapun. Bahkan dugaan penyelenggaraan Piala Dunia ini kerap dipadukan dengan strategi money politics, dan membuat Qatar diduga menyuap FIFA agar negaranya dipilih menjadi tuan rumah penyelenggara. Isu money politics ini juga melibatkan para petinggi FIFA yang turut andil dalam keputusan pemilihan Qatar menjadi tuan rumah piala dunia.

Permainan politik sebenarnya sudah terjadi pada tahun 2011 dan menjadikan ajang pertandingan sepak bola sebagai ladang bisnis kapitalis. Walaupun money politics sudah terjadi sejak sebelas tahun lalu, para pelaku pun tetap mendapatkan pengadilan. Imbasnya untuk saat ini, Piala Dunia Qatar dinilai sebagai ajang pertandingan yang kotor sepanjang sejarah.

Selain permainan politik yang dilakukan oleh Qatar dan FIFA, Piala Dunia ini juga disusupi oleh perpolitikan internal Qatar. Sebagai tuan rumah, Qatar yang semula diragukan bisa membuat gebrakan melalui berbagai macam kebijakan politiknya. Bermodal anggaran sebesar 3.454 miliar maka Qatar bisa mewujudkan mega proyek tersebut. Di samping itu, belum adanya fasilitas yang memadai dapat membuat Qatar memutuskan untuk mendatangkan pekerja dari negara tetangganya untuk membangun fasilitas layak dalam menyambut Piala Dunia.

Qatar bekerja sama dengan biro penyedia jasa tenaga kerja dari negara India, Bangladesh, Nepal, Sri Lanka, Pakistan dan negara-negara Afrika untuk mendatangkan pekerja migran yang dapat dipekerjakan selama pembangunan fasilitas (Tirto, 2021). Pemilihan tenaga kerja migran ini merupakan kebijakan politik Qatar yang tidak mampu memaksimalkan tenaga pekerja lokalnya. Pun, jika Qatar ingin menggunakan tenaga kerja lokal maka mungkin sepertinya seluruh warga negaranya dipekerjakan. Oleh karena itu, dengan menggunakan tenaga kerja dari pekerja migran setidaknya dapat menutup cost tersebut.

Dengan memiliki dana yang cukup besar, Qatar mudah mendapatkan tenaga kerja migran. Akan tetapi, dana itu hanya sebatas money politics untuk menarik simpati pekerja. Padahal, dalam realisasi pembangunan ini banyak tenaga kerja yang tidak mendapatkan perlakuan yang layak. Banyak tenaga kerja migran yang mengaku selama 12 tahun bekerja ini dieksploitasi dan tidak mendapatkan tempat tinggal yang layak, hingga membuat banyak korban berjatuhan. Beberapa organisasi HAM dan Amnesty Internasional menyebutkan bahwa tenaga kerja yang menjadi korban sebanyak 15.000 jiwa (Kompas, 2022).

Namun, data tersebut justru ditolak oleh pemerintah Qatar sehingga menimbulkan berbagai macam perdebatan mengenai jumlah sebenarnya dari korban yang berjatuhan. Qatar sendiri menyatakan jumlah korban yang tercatat hanya ada puluhan dan itu terjadi karena kecelakaan kerja. Perbedaan ini pun masih belum menemukan titik terang. Bahkan, FIFA selaku lembaga penyelenggara pun membela Qatar dengan menyatakan sikap bahwa hanya kecelakaan kerja yang menjadi penyebab jatuhnya korban jiwa dari pekerja.

Dengan pembelaan lembaga tersebut dapat disinyalir bahwa Qatar menggunakan FIFA sebagai alat politik untuk menghindari permasalahan yang nyata terjadi. Padahal seharusnya FIFA berdiri dengan posisi independen dan terhindar dari intervensi manapun, termasuk Qatar. Maka dari itu, sudah menjadi hal yang wajar dan masuk akal jika Piala Dunia di Qatar menjadi ajang pertandingan sepak bola dunia terburuk.

Eskalasi Isu HAM

Piala Dunia Qatar menjadi sebuah ajang pertandingan sepak bola yang cukup unik dalam perkembangan sejarah. Hal ini dinilai dengan banyaknya isu kemanusiaan yang mengalami eskalasi guna mendapatkan perhatian publik. Sepak bola pada tahun 2022 ini bukan hanya menjadi sebuah olahraga dan hiburan saja. Melainkan juga menjadi sarana “kampanye” isu kemanusiaan guna mendapat perhatian dari berbagai masyarakat di seluruh belahan dunia. Hal ini menandakan bahwa sepak bola masa kini telah berevolusi menjadi alat untuk menarik simpati publik terhadap isu tertentu.

Kampanye isu kemanusiaan ini bermula dari larangan menggunakan atribut dan segala simbol yang menunjukan eksistensi LGBT selama gelaran Piala Dunia di Qatar. Perspektif Qatar menilai bahwa para suporter harusnya datang dan menghargai hukum yang berlaku di negara ini. Larangan ini membuat negara-negara Eropa yang selama ini mendukung LGBT menjadi geram dan kerap melakukan protes dengan berbagai cara. Mulai dari gerakan boikot Piala Dunia hingga pemaksaan pemain yang bertanding dengan menggunakan atribut yang menunjukkan support terhadap LGBT.

Salah satu yang menjadi perhatian ialah melalui ban kapten. Walaupun sempat dilarang, tapi penggunaannya dalam gelaran piala dunia ini tetap ada. Bahkan petinggi dari negara pendukung terkait pun menggunakanya dan sempat tersorot dari tribun VVIP.  Pemaksaan adanya atribut ini merupakan sebuah dukungan moral terkait HAM untuk kelompok LGBT dalam berekspresi dan berpendapat secara bebas.

Dengan pemaksaan tersebut, warga lokal Qatar juga tidak kehabisan akal dan justru melakukan perlawanan terhadap isu LGBT dengan “menggunakan” isu kemanusiaan di Palestina. Wujud protes dengan menggunakan ban kapten ini juga dilakukan oleh warga lokal Qatar dengan menggunakan simbol perjuangan Palestina. Piala Dunia ini seakan-akan menjadi “medan perang” bagi pembelaan mengenai ideologi dan HAM yang berkaitan dominasi Barat dan Timur. Tidak hanya menarik simpati publik, kondisi tersebut secara tidak langsung menampilkan sisi intoleran dari negara Eropa dan Islam.

Selain itu, isu yang muncul juga berkaitan dengan otoritarianisme rezim Taliban di Iran. Dengan kondisi sosial politik Iran yang sedang tidak baik-baik saja, pemain Iran menolak menyanyikan lagu kebangsaanya. Hal ini merupakan sebuah sikap penolakan para suporter dan pemain Iran terhadap rezim Taliban yang berkuasa sekarang. Penolakan menyanyikan lagu kebangsaan ini merupakan bentuk protes atas dibungkamnya aspirasi publik dan juga diskriminasi terhadap perempuan yang ada di Iran (Tempo, 2022).

Terakhir, bersamaan dengan isu kemanusiaan yang mengalami eskalasi untuk mendapatkan simpati publik dalam ajang sepak bola ini, muncul juga isu yang ada di Indonesia mengenai tuntutan pengusutan tuntas dari Tragedi Kanjuruhan. Dalam peristiwa tersebut, terdapat Aremania yang berupaya membentangkan poster yang bertuliskan narasi perjuangan arek-arek Malang dalam mengusut tuntas tragedi yang terjadi di Kanjuruhan pada waktu lalu (Kompas, 2022). Meskipun tidak sempat masuk ke dalam stadion Qatar, kita sebagai warga negara Indonesia kita dapat menilai melalui aksi tersebut bahwasanya tragedi di Kanjuruhan jangan sampai lepas dari perhatian publik, dikarenakan dunia juga harus benar-benar tahu bahwasanya keadilan penting untuk diperjuangkan.

Berdasarkan paparan tersebut, banyaknya isu kemanusiaan yang muncul dalam Piala Dunia tahun ini secara tidak langsung memperlihatkan kepada publik bahwa sekarang ini ajang pertandingan sepak bola dapat digunakan sebagai sarana untuk menyuarakan isu-isu yang berkaitan dengan HAM di samping sebagai acara yang menghibur.

Tedy Aprilianto merupakan Mahasiswa Universitas Gadjah Mada. Dapat ditemui di instagram dengan nama pengguna @tedy.aprilant_426

Tentang Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *