Uni Eropa Layaknya Tongkrongan Anak Sekolah yang Mulai Ditinggal Anggotanya

0

Ilustrasi Brexit. Foto: pixabay.com.

Semasa menjadi anak SMA, saya sering sekali mendapati segerombolan kawan yang berkumpul bersama selepas pulang sekolah. Karena saya kala itu bersekolah di Jakarta, kawan-kawan saya menyebut wadah berkumpul mereka sebagai “tongkrongan”. Mungkin kalian familiar dengan istilah tersebut?

Satu yang pasti, di dalam sebuah tongkrongan, saya melihat adanya identitas kelompok yang cukup kuat. Ada tempat nongkrong yang pasti, dengan nama tongkrongan yang biasanya merefleksikan lokasi dari tempat tongkrongan. Identitas ini diperdalam dengan hal-hal lain seperti jaket bersama, atau bahkan sampai memilih perguruan tinggi yang sama.

Selain identitas yang kuat, fenomena unik di tongkrongan adalah adanya “penunggu tetap” dari tongkrongan. Mereka adalah nama-nama yang setiap hari, selepas pulang sekolah, langsung meluncur ke tongkrongan. Sebut saja Atep, Wawan, dan Budi.  Ketiga orang ini dianggap sebagai pemimpin dalam tongkrongan, yang biasanya juga menentukan arah obrolan dan diskusi setiap harinya. Tidak hanya datang paling cepat, ketiga nama ini juga pulang paling larut.

Satu poin lain mengenai tongkrongan dari saya adalah bahwa kelompok ini terbentuk dari kondisi yang awalnya tidak begitu erat. Mereka awalnya hanya teman satu sekolah/les. Lalu berkumpul bersama. Kemudian semakin erat hingga mampu saling memengaruhi keputusan anggotanya dalam menentukan pasangan hidup, pendidikan tinggi, dan lain sebagainya.

Selayaknya tongkrongan, Uni Eropa juga punya karakteristik serupa.

Di dalam ilmu Hubungan Internasional, Uni Eropa acap kali dianggap sebagai sebuah institusi “supranasional”. Diksi ini penting mengingat tidak ada institusi regional lain yang memiliki gelar serupa. Yang tingkat keeratannya paling mendekati adalah ASEAN. Itu pun masih dianggap sebagai institusi dengan landasan “intergovernmentalis”, alih-alih supranasional.

Gelar supranasional ini seolah menahbiskan perjalanan panjang integrasi negara-negara besar Uni Eropa, seperti Jerman (dahulu Jerman Barat) dan Perancis, pasca perang dunia kedua.

Selayaknya tongkrongan, Uni Eropa tidak tiba-tiba dekat dan langsung erat. Mereka memulai “perkenalan” dalam sebuah wadah bernama European Coal and Steel Community (ECSC). Negara yang terlibat hanya enam, yakni Perancis, Jerman Barat, Belanda, Belgia, Italia, dan Luxembourg. Alasan bekerja sama dengan landasan batu bara dan baja adalah karena dua komoditas ini integral saat perang dunia kedua. Dengan berlandaskan dua komoditas tersebut, diharapkan kemungkinan perang dapat diredam.

Dari ECSC, perjalanan panjang mengantarkan negara-negara Eropa hingga Uni Eropa. Di tengah jalan, jumlah keanggotaan yang awalnya hanya enam sudah berkembang menjadi 28 negara. Perluasan negara anggota, sekaligus pendalaman isu-isu yang dibahas semakin memperkuat Uni Eropa. Institusi yang menjadi wadah tongkrongan negara-negara Eropa ini pun memiliki identitas yang kian kuat. Mereka mulai mewacanakan lagu kebangsaan Uni Eropa, bahkan sampai mempersiapkan tentara Uni Eropa (European Army). Hal ini membuat semakin banyak masyarakat Eropa yang menilai bahwa Uni Eropa bukan lagi proyek kerja sama ekonomi, tapi sudah menjadi proyek peleburan identitas dan politik negara-negara Eropa. Tak terkecuali Britania Raya.

Masyarakat Britania Raya merasa bahwa peleburan ini dapat menghilangkan kedaulatan Britania Raya yang perlahan-lahan sudah pindah ke tangan European Commission (EC) di Brussels. Proyek peleburan dinilai menghilangkan nilai-nilai tradisi demokrasi yang sudah berjalan di Britania Raya ratusan tahun lamanya. Kondisi ini juga lah yang membuat partai seperti UK Independence Party (UKIP) semakin tenar di kalangan masyarakat Britania Raya.

Selain kekhawatiran akan peleburan identitas dan politik, Uni Eropa juga kerap kali mengambil kebijakan-kebijakan yang tidak populer di Britania Raya. Hal ini menyempurnakan kegundahan masyarakat Britania Raya akan Uni Eropa; sebuah institusi yang ingin meleburkan identitas dan politik seluruh negara anggotanya, sekaligus membuat mebijakan yang tidak populer dan justru menyulitkan.

Klimaks dari kegundahan tersebut adalah janji David Cameron dalam Pemilihan Umum 2015, yakni jika ia terpilih kembali, ia akan memberikan kesempatan untuk masyarakat Britania Raya memilih apakah bertahan di Uni Eropa atau tidak. Tanggal 23 Juni 2016 pun menjadi bukti bahwa mayoritas masyarakat di Britania Raya sudah muak dengan institusi tersebut.

Proses panjang, yang bahkan sampai membuat Theresa May kehilangan jabatannya sebagai perdana menteri, akhirnya sampai pada tanggal 31 Januari 2020. Setelah sukses membawa Partai Konservatif menjadi mayoritas di Pemilu 2019, Perdana Menteri Boris Johnson pun berhasil membuat Brexit menjadi kenyataan. Pertanyaan yang tersisa sekarang adalah ke mana arah Britania Raya di bawah kepemimpinannya. Apakah menjadi negara proteksionis seperti Amerika Serikat di bawah Trump? Atau menjadi negara yang terus memperjuangkan perdagangan bebas dan nilai-nilai kapitalisme?

Global Britain: Mengusung Britania Raya yang Terbuka dengan Seluruh Negara di Dunia

Jika menilik dari apa yang Boris terus suarakan, selain jargon Get Brexit Done, ia juga menyuarakan jargon Global Britain. Global Britain dalam maksud ini adalah keluarnya Britania Raya dari Uni Eropa demi mengusung Britania Raya yang turut bekerja sama dengan seluruh negara di dunia, tidak hanya Uni Eropa saja.

Dalam beberapa hari terakhir, arah kebijakan Global Britain mulai terasa. Ada wacana untuk Britania Raya bekerja sama dengan Huawei dalam proyek penyediaan internet untuk seluruh rumah. Ia juga sudah mempersiapkan kerja sama perdagangan yang lebih kuat antara Britania Raya dan Amerika Serikat, juga dengan Uni Eropa. Semakin beragamnya entitas yang bekerja sama dengan Britania Raya membuktikan bahwa Boris siap membuka diri dengan negara mana pun di seluruh dunia, alih-alih mengambil langkah proteksionisme.

Dalam langkah Global Britain, tampak adanya keinginan Britania Raya memulai langkah dengan memperkuat kerja sama dengan negara-negara Asia, khususnya Asia Tenggara. Dalam artikelnya yang dipublikasikan The Times, anggota parlemen dari Partai Konservatif, Richard Graham, menuturkan bahwa Asia merupakan langkah awal yang paling tepat untuk membuat Global Britain tidak hanya sekadar jargon. Dengan keuntungan sejarah dan bahasa yang universal, Britania Raya harus mampu menjalin hubungan yang lebih kuat lagi dengan negara-negara Asia Tenggara.

Ia pun menggarisbawahi banyaknya kanal dan ragamnya isu yang mampu membawa Britania Raya ke Asia Tenggara. Kanal-kanal seperti Department for International Development dan Five Power Defence Arrangements merupakan kanal yang tepat membangun kembali network yang dimiliki Britania Raya di Asia Tenggara. Beragam isu seperti perdagangan, lingkungan, bahkan hak asasi manusia dan hewan, juga dinilai dapat menjadi isu-isu utama yang dapat memperkuat kerja sama antara Britania Raya dan Asia Tenggara.

Pasca Brexit, politisi Britania Raya tidak bisa lagi menyalahkan Uni Eropa atas kegagalannya dalam sebuah kebijakan. Tanggung jawab penuh kini ada di bawah kuasa Boris Johnson dan koleganya. Jika Global Britain mengambil langkah awal yang tepat, bencana akibat Brexit yang diprediksi oleh politisi-politisi pro Uni Eropa jelas tidak akan pernah terjadi. Alih-alih, Brexit akan menjadi sebuah langkah yang mengembalikan Britania Raya ke jajaran pemimpin global seperti dulu kala.

Masyarakat Britania Raya tepat untuk khawatir akan peleburan identitas dan politik dalam Uni Eropa. Jika tiba-tiba suatu tongkrongan memiliki aturan yang memaksa anggotanya untuk melakukan A atau B tanpa kesempatan untuk menolak, saya yakin, cepat atau lambat, tongkrongan tersebut akan semakin ditinggal anggotanya.

Hafizh Mulia adalah Pemimpin Redaksi Kontekstual. Bisa ditemui di Twitter dan Instagram dengan username @moelija.

Tentang Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *