Urgensi Pendapilan Khusus Pemilih Luar Negeri Indonesia

0

Ilustrasi pemilihan umum. Foto: Katasiber.id

Keadilan dalam keterwakilan demokratis dimulai perwujudannya melalui Pemilihan Umum (Pemilu). Akan tetapi, kerap kali keadilan elektoral di pesta demokrasi tersebut hanya dirasakan oleh para pemilih di dalam negeri, sementara pemilih luar negeri (pemlugri) terpinggirkan. Hal ini terutama terlihat perihal pembagian Daerah Pemilihan (dapil). Padahal, keduanya merupakan Warga Negara Indonesia (WNI) yang tidak kurang dalam arti apapun juga.

Tidak sedikit akademisi, praktisi, hingga politikus telah menyuarakan keprihatinan ini dalam berbagai cara. Diskusi akannya, namun, masih bisu dari luas didengungkan, seakan-akan diam itu selalu emas. Pembentukan dapil tersendiri bagi pemilih luar kita ibarat payung legislatif pelindung dari hujaman hujan emas negeri orang yang acap tak adil.

Dapil dan Pemilu Indonesia di Luar Negeri

Masyarakat republik ini memilih calon-calon legislatur mereka berdasarkan area-area tertentu yang dikenal sebagai dapil. Walau tidak terdefinisi dalam UU Pemilu kita, dapil tersebut menjadi dasar penentu berapa banyak jumlah kursi legislatif dan suara yang diperebutkan.

Suara yang diperebutkan tersebut berasal dari masyarakat Indonesia yang terdaftar sebagai pemilih dalam perhelatan pemilu. Dalam hal ini, Kementerian Luar Negeri (Kemlu) mencatat setidaknya terdapat tiga juta WNI yang terdaftar resmi berada di luar negeri.

Sejak tahun 2003, mekanisme keikutsertaan pemlugri kita dalam pemilu telah diformalisasi. Namun, dalam pemilihan legislatif (pileg), seluruh pemlugri dikelompokkan ke dalam dapil DKI Jakarta II. Alasannya sesederhana karena kantor Kemlu berlokasi di sana.

Selain mengakomodasi pemlugri, Jakarta II juga mencakup seluruh pemilih lokal pada Kota Administratif Jakarta Pusat dan Jakarta Selatan. Daftar Pemilih Tetap (DPT) pada pemilu 2019 yang lalu mencatatkan 2.5 juta pemilih pada kedua wilayah administratif-di luar DPT luar negeri yang tercatat sekitar dua juta jiwa. Perhitungan tersebut menjadikan legislatur-legislatur Jakarta II mewakili sekitar 4.5 juta jiwa pemilih dan 6.1 juta populasi-berdasarkan perhitungan terkini. 

Baik dari segi jumlah DPT maupun populasi terwakili, Jakarta II sejatinya menjadi salah satu dapil terbesar walau hanya diwakili oleh tujuh anggota dewan. Ukuran tersebut bisa kita bandingkan, misalkan, dengan dapil-dapil lain yang mewakili dua wilayah administratif tetapi jumlah perwakilannya di DPR mencapai sepuluh orang. Dapil-dapil tersebut, di antaranya, Jawa Barat II (3.6 juta pemilih) dan Jawa Timur I (3.5 juta pemilih).   

Walaupun sama-sama Indonesia, dalam jiwa maupun status kewarganegaraan, pemilih baik yang berada di dalam ataupun luar negeri membawa kepentingan yang berbeda. Di satu sisi, masyarakat lokal Jakarta Pusat dan Jakarta Selatan mungkin lebih berkutat agar permasalahan kemacetan hingga kontroversi pertanahan di daerahnya usai. Sementara itu, pemlugri kita mungkin akan lebih menyuarakan agar langkah-langkah perlindungan WNI di luar negeri dapat ditingkatkan.  

Maka dari itu, bahasan atas kemungkinan diciptakannya dapil khusus pemlugri tidak boleh dimatikan, alih-alih, ia harus diperluas. Alasan-alasan berikut perlu menjadi pertimbangan pembaca mendukung ide tersebut.

(Minimalnya) Rekam Jejak Legislator Jakarta II

Menyisir laman web resmi DPR kita tercinta, terdapat halaman yang menjelaskan sepak terjang tujuh orang perwakilan pemilih dapil Jakarta II. Fraksi-fraksi ketujuh orang tersebut pun juga beragam, mulai dari PDIP, PKS, Gerindra, Demokrat, dan Golkar. Akan tetapi, terlepas dari penempatan komisi mereka, tercatat hanya satu legislatur yang menyuarakan tentang kesejahteraan dan perlindungan masyarakat kita di luar negeri.

Diberitakan dalam bagan kegiatan halaman penjelasnya, kegiatan advokasi bagi WNI di luar negeri Christina Aryani (F-Golkar) terakhir kali tercatat pada tanggal 27 April yang lalu. Dalam eksposisi tersebut, Aryani diundang Kompas TV dalam Program Sapa Indonesia Malam untuk berkomentar mengenai pengevakuasian WNI yang terjebak dalam perang sipil di Sudan dan berjanji akan terus berkoordinasi dengan KBRI Khartoum serta kemlu. Pemberitaan tersebut tidak sampai seminggu setelah dirinya bertandang ke Dili, Timor Leste dalam penugasan resmi untuk menyerap aspirasi WNI yang menetap di sana. 

Secara internal, kasus-kasus terkini yang melibatkan bahkan mengancam keselamatan WNI kita di luar negeri meningkatkan kebutuhan akan pemerkuatan representasi mereka pada lembaga legislatif tertinggi kita. Dari rangkaian kasus tersebut, tindak perdagangan orang yang melibatkan 20 WNI kita di Myanmar dan ratusan WNI yang sempat terancam akibat perang saudara Sudan mengambil perhatian terbanyak.

Adalah benar bahwa urusan luar negeri, termasuk kesejahteraan WNI, merupakan urusan prinsipil Komisi I. Salah satu anggota komisi tersebut, Sukamta (F-PKS), sempat menyampaikan keprihatinannya agar lembaga-lembaga terkait dapat menguatkan taji mereka untuk melindungi WNI kita. Akan tetapi, tidak satu pun legislatur Jakarta II yang ikut bersuara-kecuali Aryani-dalam kedua isu tersebut.

Ketidakacuhan legislatur dapil tersebut bisa jadi mengindikasikan perilaku yang tidak bertanggung jawab dalam aspek keterwakilan. Penempatan ke komisi selain Komisi I tidak sepantasnya menghambat keenam legislatur tersebut dari proses advokasi dan pengawasan. Malahan, perwakilan dapil Sumatera Selatan II, Irma Chaniago (F-NASDEM) lah yang turut serta menyuarakan tentang kasus perdagangan orang tersebut.

Dibandingkan keenam legislatur Jakarta II lainnya, pemberitaan dan pencatatan kegiatan yang dilakukan Aryani merupakan pencapaian-terlebih karena lima di antara mereka bahkan tidak memublikasikan rekaman kegiatan. Minimalnya penyuaraan, terlebih pencatatan resmi kegiatan mayoritas perwakilan Jakarta II, berbicara banyak tentang kurangnya pengawasan dan fungsi legislatif yang berkenaan dengan kepentingan pemlugri kita.

Kebijakan Australia Khusus Mendapilkan Pemlugrinya 

Sebagai upaya memperkaya inspirasi dalam proses pendapilan, KPU, selaku yang berwenang mengatur proses itu, dapat mengkaji keputusan Australia yang mengelompokkan seluruh pemlugrinya ke dalam dapil tunggal. Lantaran telah berlaku semenjak tahun 1984, keputusan pembentukan dapil bertajuk overseas division tersebut menyimpan segudang pembelajaran yang dapat diambil pemegang kepentingan Indonesia.

Keputusan tersebut, secara umum, memberikan kesempatan yang lebih besar agar suara pemlugri Australia terdengar dalam parlemen mereka. Hal tersebut disebabkan legislatur-legislatur yang mewakili pemilih dapil tersebut semata berfokus kepada permasalahan unik yang dihadapi konstituen mereka. Keadilan elektoral bisa jadi lebih kuat tercapai melalui kebijakan tersebut lantaran asas penguatan representatif yang ditelurkannya.

Namun, afdal pula untuk mempertimbangkan kritik-kritik yang sempat dimunculkan terhadap kebijakan tersebut. Di antara serangkaian kritik yang paling prominen, keberatan akan ketimpangan pengaruh mencuat. Pada dasarnya, keterwakilan pemlugri yang berjumlah sedikit bisa jadi lebih kuat ketimbang beberapa wilayah Australia. 

Keadilan Elektoral dan Pendapilan Khusus 

Rendahnya keterwakilan pemilih luar negeri kita adalah fakta, dan pengelompokkan mereka ke dapil Jakarta II adalah alasannya. Pencampuran kepentingan masyarakat lokal dalam Jakarta II signifikan mengesampingkan kebutuhan representatif WNI kita di luar negeri. Ketiadaan advokasi mayoritas legislatur yang ada akan kebutuhan konstituennya menambah runyam perkara. Tetap, keadilan harus disuarakan bagi pemlugri kita.

Adapun benar, pendapilan adalah kewenangan KPU bukan DPR. Layaknya begitu, isu pendapilan khusus ini tidak akan ditentukan dari nilai etika politisnya, melainkan bagaimana kepentingan Komisi Pemilihan Umum (KPU) akan dikejawantahkan. Independensi KPU terpengaruhi juga oleh banyak hal, berjangka dari pemilihan komisonernya oleh Presiden, pengawasan DPR RI, hingga kondisi lapangan-domestik atau luar negeri. 

Dari sisi masyarakat, penghindaran matinya api bahasan ini ialah satu-satunya jalan agar pendapilan tersebut dapat terjadi. Sudah terlalu lama WNI kita di luar negeri dibiarkan terlantar tanpa keterwakilan ataupun penyuaraan kepentingan memadai. Memang, bukan DPR RI saja yang kini bertanggung jawab atas kesejahteraan dan keselamat mereka. Akan tetapi, sebagai lembaga legislatif yang berkewenangan mengurus politik luar negeri, mereka harus diisi pula oleh legislator yang memang mewakili secara spesifik masyarakat kita di luar negeri.

Philipus Mikhael Priyo Nugroho merupakan Mahasiswa Hubungan Internasional di Universitas Airlangga. Dapat ditemukan di Instagram dan Twitter dengan nama pengguna @miko.khael @mikhael_ruby

Tentang Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *